Thursday, July 31, 2008

SLAMET MENUR ANOMALI DI INDUSTRI KESENIAN



Di tengah hingar-bingarnya industri rekaman di Banyuwangi yang serba pragmatis, mengikuti pasar dan menghamba pada logika pasar, masih ada sosok seniman yang masih tegar mengusung idealisme, melawan arus dengan mengabaikan semua pertimbangan yang seharusnya dipenuhi dalam pola pikir kapitalis. Dia biasa dipanggil Pak Slamet Menur. Namanya sendiri sebenarnya adalah Slamet Abdul Rajat. Menur , nama usahanya di bidang jasa reklame dan percetakan.
Selain menekuni usahanya di bidang reklame, Pak Slamet Menur baru-baru ini mengeluarkan album yang bertajuk “Angklung Soren”. Pilihan musik angklung yang tidak populer dengan investasi 45 juta di tengah maraknya pasar dengan warna musik host dan disco adalah pilihan ganjil, tak masuk akal dan keras kepala. Tapi demikianlah, Pak Slamet Menur dengan berkeyakinan pada pilihannya terus berjalan dengan menanggung semua konsekwensinya.
Mengapa angklung? “Soalnya saya sejak kecil sudah berkecimpung di kesenian angklung. Angklung adalah kesenian asli Banyuwangi.” Kata pria berusia 65 tahun ini. “Musik angklung itu alat tabuh yang sederhana, namun bunyinya dapat menyentuh hati. Di sawah ada sayup-sayup suara angklung, mengingatkan penderitaan rakyat.” Katanya sambil menerawang. Selain ingin melestarikan dan menumbuhkan lagi kesenian angklung, menurutnya para seniman angklung rata-rata adalah rakyat kecil. Ada yang buruh, tukang ada yang petani dan tukang becak. Dan musik angklung itu dekat dengan rakyat, makanya dulu ada di tiap-tiap desa. Menurutnya para seniman ini selama ini tidak ada yang memperhatikan. Walaupun mereka sebenarnya juga tidak minta diperhatikan. Karena biasanya para seniman angklung itu adalah seniman murni, dimana mereka berkesenian hanya ingin mengikuti naluri berkeseniannya. Bukan semata-mata menginginkan materi. Diberi berapapun mereka mau. Keluguan mereka inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh orang lain tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Inilah yang membuat bapak tiga anak ini berkeras kepala mengangkat lagi kesenian angklung yang diharapkan berimbas pada meningkatkan kesejahteraan para senimannya.
Namun dengan pilihannya ini dia harus menaggung kerugian. Dari 4500 keping kaset yang ia produksi sekarang ini masih laku sekitar 1000 kaset. Ia sadar mengakui kesalahan strategi albumnya. Misalnya mengapa ia memilih bentuk kotak (cassete) bukan CD. Mengapa ia tidak mencetak sedikit demi sedikit sesuai permintaan. “Memang ini kesalahan teknis. Saya tidak mampu memprediksi. Setelah jadi, saya tidak tahu situasi sudah berubah. Dulu kaset masih, tape banyak. Sekarang VCD. Saya langsung produksi banyak. 4500 keping. Andaikan dulu langsung dalam bentuk CD mungkin sudah tersebar semua.” Katanya sambil menunjukkan tumpukan cassetenya.
Untuk mendukung obsesinya itu ia mendirikan yayasan “Layar Kumendung” yang bertujuan melestarikan dan mengembangkan seni budaya, meningkatkan kesejahteraan seniman, menegakkan keadilan, advokasi, penelitian dan paguyuban seniman. Yayasannya tersebut pada tahun 2002 telah diaktanotariskan denganmengajak teman-teman dekatnya. Ia berharap dengan yayasan ini ia bisa membantu sejawatnya para seniman. “Selama ini seniman-seniman hanya diplokoto saja. Diambil hasilnya saja. Hanya dipermainkan oleh pemodal yang ingin cari untung sendiri. Karyanya tiba-tiba direkam tanpa pemberitahuan. Imbalannya tidak seberapa, tapi di sana (produser) uang mengalir terus.” katanya.
Namun semua program yang ia impikan belum terwujud. Ia kesulitan dana. Album “Angklung Soren” itu sebenarnya adalah untuk memenuhi impiannya tersebut. Hasil penjualannya rencananya untuk mengeluarkan album berikutnya, mendirikan koperasi para seniman, mengadakan penelitian kesenian-kesenian di kampung-kampung dan lain-lain program yang telah ia susun. Untuk meneruskan obsesinya ini ia berencana melelang cassetenya dan menjual seluruh aset usahanya. Kemudian mengeluarkan album lagi lagu-lagu sebelum tahun 65.
Tak bisa dipungkiri, keteguhan hati Pak Slamet Menur adalah kristalisasi pengalamannya hidup di tiga jaman. Ia adalah senikan tulen. Hidupnya untuk berkesenian. Karena hidupnya murni tujuan berkesenian, maka ia bisa diterima di tiga jaman. Sebelum tahun 65 ia adalah seniman Lekra. Dialah pencipta tari genjer-genjer, belonjo wurung. Setelah tragedi 65 ia aktif di Dwi Laras milik LKN, jaman Orde Baru ia direkrut Golkar dengan menciptakan tari cengkir gadhing, nelayan, untring-untring, tari tani, seduluran. Baginya politik bukan tujuan. Politik adalah kendaraan. “Saya jangan dibawa-bawa ke politik. Lekra saya berkesenian, LKN berkesenian, Orde Baru berkesenian.Bagi saya seni tidak mengenal politik. Entah siapapun yang mengajak, saya ikuti asal tidak dikaitkan politik.” Kata pria yang pernah menari di istana negara jaman Bung Karno ini.
Pada tragedi 65 ia diciduk, diurus di kodim dari pagi sampai jam 12 malam. Ia mengaku tidak diapa-apakan malah disuruh menyanyi dan menari. Karena para tentara itu tahu kalau ia hanyalah seorang seniman. Saat ia masih dalam status wajib lapor, ia sudah berani tampil di lapangan taman Blambangan. Ia berani tampil karena ia juga dekat dekan orang-orang LKN.
Panggilan berkeseniannya inilah yang memperkenalkannya dengan lekra. Baginya lekra sangat konsisten dengan angklung dan seniman kelas bawah. Karena bakatnya di bidang tari, ia menguasai hampir semua tari di nusantara, semacam tari Bali, serampang 12 dari sumatra dan lain-lain. Karena kemampuannya itu ia dipercaya lekra untuk membina tari. Maka iapun pernah dikirim ke Surabaya untuk memperdalam teori tari. Pada waktu itu ia berkeliling Bali dan Jawa Timur untuk melatih tari. Keberaniannya mencipta tari terlecut setelah menyaksikan rombongan kesenian dari RRT di Banyuwangi. Maka iapun mulai menciptakan banyak tari. Baginya tari itu tidak sekedar gerak. Tari itu tidak sekedar ekspresi, tapi tari adalah makna. Inspirasi gerak tarinya adalah kehidupan. Tari nelayan inspirasinya adalah ombak, angin dan keringat nelayan. “Tarian saya bisa dibaca maksudnya. Tarian saya tidak sekedar gerak, ada maksudnya dan penonton bisa menimba manfaatnya.”
Pengalaman hidupnya itu membuatnya sangat tertarik kepada perjuangan kerakyatan. Kawula alit. Maka pada album kedua yang akan ia keluarkan nanti tetap konsisten memuat lagu-lagu yang menyuarakan perjuangan kerakyatan. Intinya lagu-lagu pra 65. Diantaranya yaitu lagu: don-adone sumping, genjer-genjer, nderes karet, lurkung, kembang kopi, kapitalis birokrat dan lain-lain. Sambil menjunjukkan konsep albumnya yang kedua iapun menembangkan lagu “Kapitalis Birokrat” yang menurutnya sangat cocog dengan keadaan yang dialami rakyat kecil sekarang ini…
Ngalor ngidul akeh wong kang padha sambat
Arep nempur picise sing kuwat
Ngerasakaken rega saiki
Munggahe rega sing mupakat
Aju kelendi nasibe bangsanisun ning dina mburi
Kadhung rakyat tetep melarat
Mulane ayo bebarengan………
(Di mana-mana banyak orang mengeluh
mau beli beras uang tidak cukup
merasakan harga sekarang
naik bukan alang kepalang
terus bagaimana nasib bangsaku di hari depan
kalau rakyat terus melarat
maka dari itu, mari bersama-sama…………)

Ia mengeritik syair lagu-lagu sekarang yang tidak peka. Kalau syair jaman dulu merupakan imbauan dan kritik sosial untuk menunjang perjuangan membela rakyat. Bagaimana perjuangankehidupan petani terangkat, kehidupan buruh terangkat. Syair lagu jaman dulu itu merupakan cerminan realitas di masyarakat. Apa yang dialami rakyat. Bukan cinta-cintaan saja, yang hanya mengikuti selera rendahan. Tidak ada idealisme. Malah kadang-kadang dipaksakan.
Ia meyakinkan bahwa walaupun lagu-lagu jaman dulu (baca: lekra) itu menyuarakan perjuangan rakyat, tapi tidak ada yang mengajak merusak, demo dan tindakan anarkis lainnya. “Rungokena wis, ana lagu-lagu bengen kang ngajak ngerusak?” katanya dengan mimik serius.
Soal lagu genjer-genjer tidak takut akibat politik? “ Isun saiki wis umur 65. pasarah paran jare GustiAllah… yang penting saya berjuang untuk mereka yang hidupnya tidak mampu. Kita harus bisa membedakan antara agama dan politik. Sebenarnya agama itu budi pekerti. Kalau politik, bagaimana cara menurunkan harga beras.” Kata pria yang baru menikah setelah menyekolahkan dan menikahkan semua adik-adiknya ini.
Belajar dari pengalamannya dari album yang pertama, ia telah menyiapkan komposisi musik angklung yang dikolaborasikan dengan musik patrol, saron, kendang dan biola. Yang penting masih tetap musik tradisi. Sedangkan syair-syair lagunya ia usahakan tidak diubah sebagaimana album yang pertama. Album yang pertama terpaksa ada yang diubah disesuaikan dengan kondisi sekarang. “Soal pasar saya optimis diterima pasar. Sebab penuh idealisme. Musik dan visualisasinya saya tangani sendiri.”
Soal hubungan seniman dan produser, ia akan mengawali sistem royalti di Banyuwangi. Seniman dan produser harus sama-sama untung. Selama ini tidak imbang. Pemodal yang lebih banyak untung. Untuk itu ia berjanji kalau cassetenya sudah laku para senimannya akan ia panggil untuk membicarakan untuk apa uang yang diterima. Ketika ditanya tentang harapannya tentang peranan pemerintah, ia menjawab: ”Percuma, mulai dulu campur tangan pemerintah ya begitu saja, ndak ada hasilnya. Mari ya mari, mong diempet butuhe thok.”

1 comment:

talieyajacques said...

Hard Rock Hotel and Casino Maryland | DrmCD
Welcome 의왕 출장마사지 to Hard Rock Hotel and Casino Maryland, where we 강릉 출장안마 feature three award winning hotel casinos with 보령 출장안마 all the amenities you 밀양 출장안마 need. Plan your visit today! 나주 출장샵