Thursday, July 31, 2008

SEKILAS TENTANG KESENIAN JANGER DAN RENGGANIS DI BANYUWANGI



KESENIAN JANGER

Kesenian janger termasuk dalam seni dramatari tradisional. Selain disebut janger, kesenian ini juga biasa dinamakan kesenian Damarulan atau Jinggoan. Belum diketahuk asal-usul mengapa kesenian ini sering disebut Janger, sedangkan sebutan Damarulan dan Jinggoan diperkirakan karena pada mulanya selalu menyajikan cerita Damarulan Minakjinggo; walaupun kisah tersebut sekarang sudah jarang ditampilkan. Ada yang mengatakan disebut dengan kesenian Janger karena dahulu dalam pertunjukannya diselingi dengan tari janger dari Bali.

Ada tulisan yang mengatakan kesenian ini sudah ada sejak tahun 1918 yaitu diprakarsai oleh seseorang yang bernama Mbah Darji dari desa Singonegaran Banyuwangi. Mbah Darji yang seorang pedagang sapi yang sering pulang pergi Banyuwangi-Bali sangat tertarik dengan kesenian di Bali. Di Banyuwangi ia sudah memiliki grup kesenian yang bernama Ane-ande Lumut. Ketertarikannya dengan kesenian Bali kemudian mendorongnya untuk belajar tari Bali kepada Pak Singo di kampung Bali Banyuwangi dan mendirikan kesenian baru yang bentuknya seperti kita kenal dengan kesenian janger sekarang ini.
Pertunjukan kesenian janger dilaksanakan pada malam hari dimulai pada pukul 21.30 sampai pagi. Kesenian janger mununjukkan perpaduan antara bentuk dan gaya Bali, Jawa dan Banyuwangi. Warna Bali nampak pada musik dan kostumnya, warna Jawa nampak pada dialognya (antawacana) sedangkan warna Banyuwangi nampak pada dialog pada dagelan dan pelakunya. Bentuk panggung seperti pada kesenian ludrug, ketoprak dengan dekor bergambar.

Pada tahun 1970-1980 kesenian janger mengalami pertumbuhan pesat terutama dari segi kuantitas. Tumbuh grup dimana-mana dan masyarakat mengapresiasi dengan baik. Kemudian memasuki awal-awal tahun 1980-an lahir kesenian kuntulan/kundaran yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Kepopuleran dan kelarisan kesenian kuntulan sampai-sampai mematikan kesenian lainnya termasuk janger juga kesenian gandrung. Nampaknya pilihan masyarakat tidak selalu tetap. Pertengahan tahun 1990 karena berbagai sebab kesenian kuntulan perlahan ditinggalkan masyarakat. Kalau sebelumnya hampir tiap desa ada grup kuntulan maka sekarang tak satupun masih berahan grup profesional kuntulan. Setelah kuntulan menurun, kesenian janger muncul lagi sampai sekarang. Walaupun tanggapan kesenian janger relatif mahal yaitu sekitar 3 juta-an namun hampir setiap kali orang punya hajatan selalu yang dipilih masyarakat adalah kesenian janger. Sekarang di Banyuwangi terdapat sekitar 50-an lebih grup yang aktif.

Persebaran kesenian ini hampir merata di seluruh wilayah kabupaten Banyuwangi. Mulai dari Kalibaru ujung selatan barat sampai Ketapang Banyuwangi ujung utara. Baik di masyarakat Madura, Jawa Bali maupun Using. Walaupun jumlah terbanyak di kecamatan Rogojampi yang merupakan basis masyarakat Using. Semua grup-grup di atas punya masyarakat pelanggan sendiri-sendiri. Tapi juga tidak bisa dikatakan punya basis pelanggan. Grup Madyo Utomo Banje misalnya, tidak selalu diundang oleh masyarakat Rogojampi saja. Ia juga bisa diundang oleh masyarakat Tegaldlimo atau Kalibaru. Dimana mereka kundangan biasanya ditentukan oleh relasi dengan grup atau anggota grup, atau bentuk relasi yang lain. Jadi janger tidak di dukung oleh basis berdasarkan etnik, atau wilayah. Semuanya hampir berjalan sesuai dengan hukum relasi saja.

Persaingan antar grup terjadi secara diam-diam, tidak terbuka. Biasanya dalam bentuk persaingan harga dan perebutan pemain perempuan. Walaupun secara umum HR pemain perempuan biasanya Rp 50.000, tapi grup tertentu berani membayar di atasnya karena mendesak tidak menemukan pemain atau karena pemain wanita tersebut diminta oleh penanggap atau pemain wanita tersebut kualitasnya bagus. Kebanyakan pemain perempuan sifatnya lebonan. Artinya ia bisa main di mana saja dan digrup mana saja, utamanya pemain yang kualitasnya bagus. Dalam jumlah yang sedikit hal demikian juga terjadi pada pemian (wayang) laki-laki. Ia walaupun anggota grup tertentu tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk main di grup lain sesuai dengan kesepakatan. Baik kesepakatan dengan dirinya maupun dengan grup. Dengan grup misalnya kesepakatannya, ia boleh main di grup lain asal grupnya sendiri kosong job. Menjadi masalah bagi kekompakan grup apabila salah satu anggota ketika grupnya sendiri dapat job justru pemainnya ikut grup lain. Biasanya hal demikian bikin kisruh. Seorang pemain bisa ikut kundangan ke grup lain apabila ia mendapatkan honor yang lebih tinggi, atau ada persoalan di intern grupnya sendiri. Problem-problem sepele seperti ini sering mengganggu hubungan antar grup janger.

Problem-problem seperti di ataslah yang dicoba dicari solusinya oleh DKB dengan mengadakan pelatihan penyutradaraan. Dengan forum pelatihan itu ditargetkan terbentuknya Paguyuban Teataer Tradisi Banyuwangi dengan tujuan sebagai forum komunikasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan untuk mengatasi problem tentang pemain lebonan, harga tanggapan dan lain-lain. Problem pemain lebonan seperti diterangkan dimuka, sedangkan problem harga tanggapan adalah: dengan banyaknya grup Janger di Banyuwangi maka persaingan kundangan antar grup sangat ketat. Maka terjadilah fenomena memasang tarif kundangan yang tidak rasional, artinya tarif kundangan tersebut sebenarnya tidak mencukupi untuk membayar pemain dan yogo. Hal demikian biasanya dilakukan grup yang memiliki juragan yang kuat dananya. Tujuannya macam-macan; untuk menjaga eksistensi grup, untuk prestise pimpinan grup, untuk mematikan (secara tidak sengaja) grup lain. Biasanya seorang penanggap ketika menghubungi suatu grup kemudian tidak ada kesepakatan harga, pindah nego dengan grup lain dengan menginformasikan nego yang telah dilakukan dengan grup sebelumnya. Apabila dua grup yang dihubungi penanggap ini terlibat persaingan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi tindakan banting tarif. Inilah yang dikeluhkan oleh peserta pelatihan pada waktu itu. Akibatnya grup yang lemah dananya biasanya menjadi pihak yang kalah. Grup-grup di wilayah kecamatan Rogojampi misalnya dari 9 grup yang ada 2 grup yang kuat yaitu Janger Gelondong dan Janger Banje. Dua grup ini kuat karena banyak faktor. Pertama usia grup sudah tua, sudah lama berdiri, dan kedua; pimpinan grup yang kuat, terutama Janger Gelondong. Janger Banje, karena populer, dan frekuensi kundangan sangat tinggi kekompakan grup sangat tinggi, maka sistem menejemen grup berjalan lancar dengan sendirinya, tidak ada problem pendanaan. Kelebihan Janger Banje kata penggemar Janger terletak pada antawacananya, sedangkan Janger Gelondong pada tata musiknya. Dua grup ini telah melahirkan CD pertunjukannya yang dijual di bedak-bedak pasar.

Sedangkan dari sudut pandang luar (budayawan/DKB) problem yang menjadi fokus adalah rendahnya sisi penampilan. Misalnya ada keluhan jeleknya tata musik, tata lampu, kostum, dan menejemen grup. Kelemahan pada tata musik misalnya tidak sesuainya gending dengan suasana di panggung, miskinnya koleksi gending, kualitas tabuh dan lain-lain. Sedangkan kelemahan dibidang tata lampu yaitu tidak fahamnya sipenata lampu terhadap peranan lampu/pencahayaan yang berfungsi memperkuat suasana; rata-rata pemahaman penata lampu, lampu berfungsi meramaikan suasana. Maka sering dimainkanlah permainan warna lampu yang ramai walaupun di panggung sedang ada dialog raja dengan punggawa keraton. Kelemahan di bidang kostum adalah tidak adanya fokus warna yang menonjol atau warna kostum kadang tidak mencerminkan perannya. Misalkan kostum patih lebih bagus dari pada kostum raja. Demikian juga kostum emban kadang lebih baik dari kostumnya putri. Hal ini terjadi karena kadang-kadang pemain (wayang) memiliki kostum sendiri yang dibawa dari rumah yang dirawat dan terus diperbaiki. Kadang seorang pemain walau perannya sebagai emban, tapi ia tidak ingin tampil jelek (kurang cantik) ketika di pentas. Maka dibawa pulanglah kostumnya untuk diperbaiki sana-sini. Sedangkan problem menejemen grup dikeluhkan jarangnya grup yang mau dan dapat mengelola secara profesional.

Menejemen grup secara umum ada tiga macam; sistem juragan murni, sistem setengah juragan, dan milik bersama. Sistem juragan murni maksudnya grup 100 % milik juragan. Grup tidak memiliki anggota tetap. Pemain dan yogo seluruhnya lebon/ngebon. Sang juragan bisa-bisa hanya memiliki keber saja. Gamelan, pemain, yogo, lampu, kostum semuanya menyewa. Sat memperoleh job, maka juragan kemudian mencari pemain dan yogo. Kelebihan sistem ini penanggap bisa memilih pemain yang disenangi, lawak yang populer. Sedangkan setengah juragan, grup dimiliki oleh seorang juragan yang memiliki pemain dan yogo. Tapi sistem pembagian honor dan pengurusan grup sepenuhnya berada pada seorang juragan. Anggota grup tidak tahu menahu dan tidak perduli terhadap keuangan grup. Pemain dan yogo tahunya hanya main dan tampil. Sistem ini mati hidupnya grup bergantung pada seorang juragan. Seumpama sang juragan menjual infentaris grup juga tidak persoalan. Sedangkan milik bersama, awal mula grup didirikan oleh banyak orang. Mereka berkumpul dan sepakat mendirikan grup janger. Maka semuanya infentaris grup digotong bersama oleh semua anggota dan simpatisan grup. Mereka kemudian menunjukkan seseorang untuk menjadi ketua grup. Tapi pembagian honor dan lain-lain dibicarakan dan disepakati bersama-sama.

Di tengah maraknya produksi CD di Banyuwangi, kesenian janger juga masuk dalam pusaran itu, walau tingkat intensitasnya sedikit. Selain yang telah disebutkan di atas yaitu Janger gelondong dan Banje yang telah memproduksi CD, janger Mangir yaitu grup Jingga Wangi juga mengeluarkan produk yaitu “Janger Berdendang”. Dalam CD ini tidak menampilkan sebuah lakon seperti dua produk sebelumnya tapi menampilkan tetembangan dengan musik janger dan menggunakan vokalis yang lagi populer di Banyuwangi, semacam Dian Ratih, Virgia dan lain-lain. Mereka seniman janger sebenarnya bukan memproduksi, tapi diajak kerjasama oleh produser untuk memproduksi CD dengan konsep dari produser. Saya menyaksikan sendiri setiap kali mereka latihan. Mulai latihan komposisi musik pada malam-malam tertentu bertempat di Balai Desa Mangir dan di rumah Pak Sayun. Latihan dilakukan berpuluh kali. Karena mereka bermusik mengandalkan insting dan hafalan. Tidak menggunakan notasi. Maka prosesnya lama dan rumit. Karena setiap lagu menggunakan aransmen yang berbeda. Pengambilan gambar dan perekaman suara dilakukan sekaligus bertempat di Gedung Wanita Banyuwangi, seharian penuh. Setelah rekaman selesai, saya tanyakan kepada salah satu pemusik berapa dia dapat honor, ternyata hanya memperoleh Rp 200.000. Kalau kita sudah membicarakan soal honor seniman dalam industri rekaman CD di Banyuwangi maka kita masuk dalam lingkar problem produksi CD yang dikuasai oleh produser. Malah pernah ada komplain dari salah satu grup, penampilannya saat kundangan di salah satu desa, ternyata dalam kurun waktu yang tidak lama tiba-tiba keluar Cdnya dan di jual bebas. Menurut pengakuan Sandi Record, produksi CD jenis kesenian tradisional paling banter terjual 4000 keping. Jumlah itu kalau dikalikan harga penjualan dari produser misalnya minimal Rp 4000 maka akan diperoleh angka 16 juta. Maka bagaimanapun bagian yang diterima seniman di atas masih sangat rendah.
Basis pendukung kesenian janger bisa dipastikan adalah masyarakat abangan. Kalaulah Janger ada di desa Parijatahwetan yang santri, tapi pasti pendukungnya adalah komunitas abangan di Parijatahwetan. Ada kasus misalnya di Janger Mangir pemain yang berlatar bekalang santri namanya Nuradi. Ia biasa memerankan tokoh kasaran (raksasa). Tapi ia aktif di kelompok tahlilan dan anggota Banser. Di kelompok tahlilan ia bertugas bagian speker/sound system. Ia memposisikan dirinya di dua tempat sekaligus. Santri sekaligus abangan. Tidak ada masalah. Karena dikelompok tahlilanpun tidak semuanya santri. Tapi dalam pembicaraan-pembicaraan informal di kalangan tokoh santri, sebagai anggota Banser dan orang NU, keterlibatan Nuradi di kesenian Janger disayangkan.

KESENIAN RENGGANIS

Kesenian Rengganis juga tergolong seni dramatari. Nama lainnya adalah kesenian Umarmoyo dan kesenian Praburoro. Semua nama tersebut mengacu pada tokoh-tokoh cerita yang dimainkan. Penampilannya mirip wayang orang. Gamelan Jawa, tata kostum mirip wayang orang. Cerita yang dilakonkan kisah-kisah layang menak, konon gubahan pujangga Demak. Maka ceritanyapun berbau-bau Arab; ada kerajaan Puserbumi (Makkah), Guparman, tokoh Umar Amir, atau Hasan Husen, Abdul Habi, pusaka kasang kertonadi, cemethi jabardas dimana sebelum menggunakan pusaka tersebut harus membaca kalimah sahadat dulu dan lain-lain. Tokoh yang disukai dalam kesenian Rengganis yaitu tokoh Umarmoyo. Pemainnya idealnya harus kecil tapi lincah. Menggunakan penutup dada layaknya Gatutkaca, berkacamata hitam pakai kerincing di kaki seperti tari remo serta nggembol pusaka kasang kertonadi.

Karena tumbuh di Banyuwangi, maka tata musiknya juga dipengaruhi warna Banyuwangi, terutama pada kendang. Pengaruh Banyuwangi lainnya adalah pada gerakan tariannya, serta tampilan tarian pembuka berupa tari-tarian pitik-pitikan atau ada yang menamai burung garuda. Konon tari ini dilatarbelakangi oleh legenda Panji Ulur dari kerajaan Asta Giri yang hidup di kalangan masyarakat Using Banyuwangi utara.

Pada tahun 70-an kesenian rengganis sangat digemari. Sakarang ini grup kesenian Rengganis tinggal 3 grup. Grup Rengganis Cluring, Sumbersewu dan Tegaldlimo. Ketiganya sudah jarang tanggapan sejak tahun 80-an. Grup Rengganis Cluring yang paling populer, dua tahun ini hanya tampil dua kali. Itupun bukan tanggapan di orang hajatan, tapi ditanggap oleh pariwisata di Gesibu Banyuwangi dan ditanggap oleh rombongan ISI (?) Solo untuk diambil gambarnya. Pak Marwito, pimpinan Rengganis Cluring menuturkan sepinya tanggapan kesenian Rengganis karena masyarakat banyak memiliki pilihan jenis kesenian. Masyarakat sekarang masih menyukai Janger. Tapi pada saatnya Janger juga akan sepi dan diganti oleh kesenian lain. Karena Rengganis sedang sepi Pak Marwito (almarhum) ikut mengurus kesenian Jaranan Buto. Tapi kesenian Rengganis terus ia pelihara. Dan kapanpun ada orang tanggapan, grupnya siap. Karena pemainnya hampir semuanya orang Cluring. Hanya beberapa yang ngebon. Masyarakat Cluring masih menyukai kesenian Rengganis. Buktinya kalau ada latihan di depan rumahnya masyarakat masih senang menyaksikan. Sebenarnya setiap kali tujuhbelasan, inginnya panitia desa mau menampilkan kesenian Rengganis, tapi karena dananya kurang rencana itu tidak terwujud. Pak Marwito yang seorang penjaga SD tidak mungkin nemblongi mbayar anggotanya. Pada bulan suro yang akan datang ini maunya akan ditampilkan untuk selamatan tahunan. Tapi kalau tidak ada dananya cukup selametan saja dengan anggota grupnya. Dulu, setiap bulan Suro selalu ditampilkan di depan rumahnya, sekaligus untuk selametan grup. Sekarang ini ia sedang diajak kerjasama oleh Dinas Pariwisata yang dijanjikan akan ditampilkan secara teratur karena akan dimasukkan ke dalam kalender event pariwisata Banyuwangi.

Di Desa Mangir kecamatan Rogojampi pada tahun 80-an pernah berdiri kesenian Rengganis. Hanya berumur beberapa tahun. Kemudian 2003 berdiri lagi, namun umurnya tidak sampai 2 tahun dan baru kundangan 2 kali sudah bubar lagi. Dalam perbincangan dan guyonan diantara pemain kuntulan di depan rumah saya, kesenian Rengganis diperbincangkan dengan guyonan. Tariannya lucu, tata musiknya tidak dinamis terlalu pelan, katanya. Tokoh Umarmoyo yang berkacamata hitampun menjadi bahan lelucon yang ramai. Pokoknya nampak kesan kesenian Rengganis untuk sekarang ini sudah dianggap ketinggalan jaman. Anak-anak muda sudah tidak ada yang mengenal kesenian ini. Orang-orang tua masih suka mengenang cerita-ceritanya.

PAK PI'I, PEWARIS KEEMPAT KESENIAN BARONG KEMIREN

Pak Pii, pria berumur 70-an tahun. Perawakannya kecil, liat. Kemana-mana jalan kaki. Bahkan ke rumah anaknya di kampung sebelah, juga jalan kaki. Ia lahir dan besar di Desa Kemiren. Nama lengkapnya Sapii. Bagi orang Kemiren nama Sapii bukan berarti Syafii yang Arab. Nama Sapii tidak mengandung konotasi kesantrian, nama tersebut setara dengan nama Buang, Janoto, misalnya. Makanya di rumahnya tidak ada simbol-simbol yang menunjukkan kesantrian. Kaligrafi, foto kiyai tidak kita temukan. Rumahnya terletak di Desa Kemiren bagian timur (Kemiren Wetan) sekitar 100 m dari rumah pertama dari arah timur masuk desa Kemiren. Seperti umumnya rumah penduduk Kemiren, rumah Pak Pii membujur ke arah utara selatan terletak di sebelah utara jalan yang membelah desa Kemiren. Bagian depan rumahnya sudah dibangun permanen, sedang ¾ sisanya masih berlantai tanah berdinding gedheg. Bagian depan rumahnya itu dibangun oleh anaknya yang bekerja di Bali. Aktifitas Pak Pii dan isterinya lebih banyak dilakukan di bagian belakang rumahnya. Bagian belakang rumahnya berpintu layaknya balai keluarga. Di sinilah Pak Pii beraktifitas sehari-hari. Baru masuk ke rumahnya kita langsung akan terkesan bahwa pemilik rumah adalah orang yang sangat erat hubungannya dan sangat intens dengan kesenian barong dan nilai-nilai tradisional. Dua kepala barong yang setengah jadi tergantung di tiang rumah, gamelan, keber di tata dibagian dalam rumah. Di pojok tenggara ruang, barong tergantung di dur, dibawahnya ada perapen yang selalu siap dinyalakan.

Hampir bisa dikatakan seluruh hidup Pak Pii diabdikan untuk kesenian barong. Setiap hari semua aktifitasnya selalu dikaitkan dan berhubungan dengan hajat berkeseniannya. Sambil ke sawah misalnya, Pak Pii punya agenda lain mencari keduk untuk rambut barong. Sambil ke rumah anaknya, ia juga punya urusan untuk mencari kayu bahan baku kepala barong. Sesampai di rumahnya ia memperbaiki perangkat barong (mayo), mengerjakan pesanan, memikirkan dan mempersiapkan kundangan yang akan datang, mengingat-ingat kundangan yang baru dijalani, mencari solusi problem yang dihadapi dalam pertunjukan dan lain-lain. Saat ini ketika usianya sudah tua, ke sawah sebenarnya hanya sebagai kelangenan saja. Pagi hari ya harus ke luar rumah, ya kemana lagi kalu bukan ke sawah, atau kalau dianggap sudah tidak terlalu sering, ia akan berkunjung ke rumah anak perempuannya di kampung sebelah. Tapi dalam menjalani semua aktifitasnya itu konsentrasinya tetap ke hajat berkeseniannya. Seperti dikatakan oleh isterinya, setiap kali pulang pasti ada saja yang di bawa. Semuanya berkaitan dengan kesenian barong.

Pak Pii menerima tanggungjawab memelihara kesenian barong dari kakaknya yang bernama Pak Samsuri. Pak Samsuri menerima dari ayahnya yaitu Pak Tompo. Pak Tompo menerima dari ayahnya yaitu Mbah Saminah. Jadi secara turun temurun Pak Pii seluruh keluarga Pak Pii mengabdikan hidupnya untuk kesenian barong.
Karena seluruh keluarganya pecinta kesenian barong, sejak kecil Pak Pii sudah akarab dengan kesenian ini. Semasa kecil, saat kesenian barong masih dipegang ayahnya, Pak Pii kecil sering memaksa kepada ayahnya untuk ikut kundangan barong. Masih dalam ingatannya, pertama kali ia ikut tampil dalam pentas kesenian barong adalah di desa Bulupayung dan menjadi pemeran pitik-pitikan. Untuk menuju ke tempat kundangan, jaman dulu belum ada kendaraan. Jadi semua anggota rombongan jalan kaki. Karena masih kecil dan jalanan licin, Pak Pii harus dipanggul oleh salah satu anak buah bapaknya yatiu Wak Mad. Sejak pertama kali tampil itulah keterlibatan Pak Pii kepada kesenian barong makin intensif.

Bagi Pak Pii mengurus kesenian barong tidak sekedar untuk kepentingan ekonomis tapi dihayati sudah menjadi jalan hidupnya yang harus dilalui. Baginya barong bukan sekedar kesenian profan, tapi juga sebagai ekspresi transendental. Barong adalah media mewujudkan harmoni kehidupan. Harmoni lahir batin. Dan sebagai tanggungjwabnya untuk menjaga keselamatan desa Kemiren. Karena Pak Pii yakin dengan kesenian barong ini Buyut Cili (pepunden desa) menjadi senang dan akan menjaga keselamatan desa. Kalau barong tidak dipelihara, ia takut akan terjadi ketidakharmonisan kehidupan. Bencana, kriminalitas, ketidakberuntungan dan lain-lain.

Karena kesenian barong merupakan kesenangan Buyut Cili, maka apapun kejadiannya bagi Pak Pii kesenian barong tidak boleh hilang. Kalau sampai hal itu terjadi pasti terjadi balak bencana. Keyakinan itu kuat melekat. Kejadian yang menimpa ayahnya tidak bisa ia lupakan. Pada waktu itu karena sesuatu hal, kesenian barong diberhentikan. Maka bencanapun datang. Banyak penyakit di Kemiren termasuk Pak Tompo. Pak Tompo yang sakit keras dibawa kemana-mana untuk berobat. Tapi tidak sembuh juga. Sakitnya berlarut-larut. Akhirnya ada orang tua yang menasehati: “Tambanono kembang kenongo, mengko mari.” Maka dicari-cari kembang kenanga itu. Tapi tidak ketemu juga. Setelah ditanyakan kesana kemari maksud nasehat itu adalah “kenongo” mengandung maksud “kenonge kudu ono”. Kemudian dimengerti bahwa untuk menyembuhkan penyakitnya Pak Tompo tiada lain adalah kenongnya harus ada, kenongnya harus dibunyikan, kesenian barong harus dihidupkan lagi. Maka setelah kesenian barong dihidupkan lagi, aktifitas latihan di depan rumah ramai dan kehadiran para anggota grup barong meramaikan suasana rumah, penyakitnya Pak Tompo sembuh. Menurut Pak Pii kejadian-kejadian itu semuanya bersumber pada Buyut Cili. Karena Buyut Cili sangat menyenangi kesenian barong, maka ketika dihentikan, Buyut Cili memperingatkan dengan cara memberi bencana.

Sejak awal menurut Pak Pii kesenian barong memang dipersembahkan untuk Buyut Cili. Mbah Saminah, kakeknya Pak Pii, pertama kali membuat barong berawal dari penyelenggaraan upacara adat sakral dalam rangka selamatan desa. Sebagaimana umumnya kala itu, selamatan desa diselenggarakan dengan prosesi “ider bumi”. Di Desa Kemiren pada waktu itu adat ider bumi disertai dengan mengarak penari seblang. Mbah Sapuah, yang menjadi seblang, kerasukan roh Buyut Cili. Buyut Cili menghendaki supaya seblang dipindahkan ke Desa Uli-Ulian (Olehsari) dan di Kemiren supaya diadakan kesenian Barong. Atas permintaan roh Buyut Cili lewat penari seblang tersebut Mbah Saminah segera membuat barong yang akan digunakan upacara ider bumi. Di rumah, Mbah Saminah kebetulan telah memiliki topeng sederhana yang digunakan untuk tolak balak. Agar lebih baik, Mbah Saminah memesan topeng barong yang baru kepada orang Bali yang bertempat tinggal di Desa Dandangwiring. Dengan kreasinya Mbah Saminah dan orang Kemiren kala itu terbuatlah barong sederhana sekedar untuk melengkapi upacara ider bumi. Jadi dengan kata lain barong secara tidak langsung milik Buyut Cili. Maka segala sesuatunya Buyut Cili juga ikut mengatur.

Ketika Buyut Cili dipercaya ikut juga mengatur kesenian barong, maka menurut Pak Pii pantang mengadakan perubahan tanpa petunjuk Buyut. Kalau tidak ada petunjuk berarti kesenian barong harus seperti adanya sekarang, tidak boleh diubah-ubah. Tidak boleh dikreasi. Memelihara kesenian barong tidak boleh neko-neko, katanya. Ada kejadian, dulu Barong Kemiren kundangan ke Sumberberas, selatan Muncar. Pagi setelah bubaran, Pak Pii dipanggil yang punya hajat, ternyata ia dimarahi karena dalam cerita yang dilakonkan tadi malam menceritakan isterinya Pak Mantri diambil oleh Lodaya. Yang punya hajat itu menggugat, mengapa isterinya seorang mantri kok sampai bisa diambil oleh orang. Urus-punya urus, ternyata yang punya hajat itu seorang mantri.

Sesampai di rumah Pak Pii berpikir, inginnya kundangan barong jauh-jauh ke Sumberberas pulang bisa membawa hal-hal yang menggembirakan tapi ini malah dimarahi orang. Ini gara-gara cerita Lodaya. Setelah lama berfikir, Pak Pii berkeinginan untuk menambahi cerita yang dibawakan kesenian barong agar tidak hanya cerita itu-itu saja (cerita pakemnya yaitu “Jakripah”, “Panji Sumirah”, “Suwarti” dan “Lodaya”). Setelah berembug dengan teman-temannya disepakati untuk mencari cerita ke Rogojampi. Sepulang dari Rogojampi dapat lima cerita. Dalam salah satu cerita itu antara lain harus ada monyet-monyetannya. Maka pada kundangan berikutnya dipakailah lakon baru tadi. Yang terjadi selanjutnya ternyata Pak Pii menderita sakit yang bermacam-macam. Sakit gatal, sakit dada, perut. Tapi Pak Pii belum menyadari apa-apa.

Tidak kuat menaggung sakit, Pak Pii tanya dukun yang baik. Kemudian ada yang menganjurkan untuk pergi ke Mojoroto. “Meronoo nyang Mojoroto ambi anakiro, nggowoo kembang ngelawar,” begitu kata yang menasehati. Sampai di Mojoroto, anaknya Pak Pii disuruh melihat air di dalam gelas. Menurut penglihatan anaknya di dalam gelas itu ada gambar monyet pelangi merah dan hijau. Si orang tua tadi langsung bisa menebak apa penyebab sakitnya Pak Pii. Ia bertanya apakah Pak Pii punya salah kepada barong. Di depan orang tua tersebut Pak Pii masih belum menyadari kesalahannya. Setelah sampai di rumah baru ia menyadari yaitu cerita yang ada monyetnya itulah yang menyebabkan ia menderita penyakit gatal. Langsung saja monyet-monyetan yang baru saja ia buat dibakar. Setelah itu semua sakitnya sembuh.

Kejadian-kejadian seperti diatas yang semakin memperkuat keyakinan Pak Pii terhadap peranan Buyut Cili. Karena kejadian-kejadian seperti ini juga disaksikan oleh orang lain, maka kepercayaan pada umumnya orang Kemiren juga begitu. “Omongan lan pikirane wong Kemiren ya gedigu iku”(Apa yang dibicarakan dan dipikirkan orang Kemiren –terhadap Buyut Cili- memang begitu), kata Pak Pii.

Untuk itu bagi Pak Pii berat atau ringan kesenian barong harus dihidup-hidupkan dan dipelihara. Pak Pii memegang kuat petuah orang tua yang mengatakan: “Wis kang omes ngerumat barong, songgane sing ana kang ngundang gantungen baen wis” (Sudahlah yang sabar memelihara kesenian Barong, misalkan tidak ada yang ngundang simpan dengan cara digantung). Karena weluri inilah barong di rumah Pak Pii itu disimpan dengan cara digantung di dur rumahnya.

Saat usianya semakin tua seperti sekarang, Pak Pii masih aktif mengurus barong. Setiap kali kundangan Pak Pii tidak lupa nyekar ke makam Buyut Cili untuk minta ijin dan perlindungan. Setiap malam Jumat dan malam Senin Pak Pii tidak lupa membakar menyan di bawah barong di pojok ruang rumahnya. Untuk mempersiapkan penggantinya Pak Pii sudah menggadang-gadang adiknya yaitu Pak Sake untuk diberi tanggung jawab memelihara barong. Kalau sudah sampai pada saatnya ia akan berwasiat kepada adiknya seperti ia menerima wasiyat dari kakaknya dulu. Ia masih teringat wasiyat kakaknya: “Barong iki sing ulih leren, rumaten barong iki. Kadung sing sira kang ngerumat sapa anake bapak kang gelem? (Kesenian barong tidak boleh hilang, rawatlah kesenian barong ini. Kalau bukan kamu terus siapa yang memelihara barong?).



SLAMET MENUR ANOMALI DI INDUSTRI KESENIAN



Di tengah hingar-bingarnya industri rekaman di Banyuwangi yang serba pragmatis, mengikuti pasar dan menghamba pada logika pasar, masih ada sosok seniman yang masih tegar mengusung idealisme, melawan arus dengan mengabaikan semua pertimbangan yang seharusnya dipenuhi dalam pola pikir kapitalis. Dia biasa dipanggil Pak Slamet Menur. Namanya sendiri sebenarnya adalah Slamet Abdul Rajat. Menur , nama usahanya di bidang jasa reklame dan percetakan.
Selain menekuni usahanya di bidang reklame, Pak Slamet Menur baru-baru ini mengeluarkan album yang bertajuk “Angklung Soren”. Pilihan musik angklung yang tidak populer dengan investasi 45 juta di tengah maraknya pasar dengan warna musik host dan disco adalah pilihan ganjil, tak masuk akal dan keras kepala. Tapi demikianlah, Pak Slamet Menur dengan berkeyakinan pada pilihannya terus berjalan dengan menanggung semua konsekwensinya.
Mengapa angklung? “Soalnya saya sejak kecil sudah berkecimpung di kesenian angklung. Angklung adalah kesenian asli Banyuwangi.” Kata pria berusia 65 tahun ini. “Musik angklung itu alat tabuh yang sederhana, namun bunyinya dapat menyentuh hati. Di sawah ada sayup-sayup suara angklung, mengingatkan penderitaan rakyat.” Katanya sambil menerawang. Selain ingin melestarikan dan menumbuhkan lagi kesenian angklung, menurutnya para seniman angklung rata-rata adalah rakyat kecil. Ada yang buruh, tukang ada yang petani dan tukang becak. Dan musik angklung itu dekat dengan rakyat, makanya dulu ada di tiap-tiap desa. Menurutnya para seniman ini selama ini tidak ada yang memperhatikan. Walaupun mereka sebenarnya juga tidak minta diperhatikan. Karena biasanya para seniman angklung itu adalah seniman murni, dimana mereka berkesenian hanya ingin mengikuti naluri berkeseniannya. Bukan semata-mata menginginkan materi. Diberi berapapun mereka mau. Keluguan mereka inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh orang lain tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Inilah yang membuat bapak tiga anak ini berkeras kepala mengangkat lagi kesenian angklung yang diharapkan berimbas pada meningkatkan kesejahteraan para senimannya.
Namun dengan pilihannya ini dia harus menaggung kerugian. Dari 4500 keping kaset yang ia produksi sekarang ini masih laku sekitar 1000 kaset. Ia sadar mengakui kesalahan strategi albumnya. Misalnya mengapa ia memilih bentuk kotak (cassete) bukan CD. Mengapa ia tidak mencetak sedikit demi sedikit sesuai permintaan. “Memang ini kesalahan teknis. Saya tidak mampu memprediksi. Setelah jadi, saya tidak tahu situasi sudah berubah. Dulu kaset masih, tape banyak. Sekarang VCD. Saya langsung produksi banyak. 4500 keping. Andaikan dulu langsung dalam bentuk CD mungkin sudah tersebar semua.” Katanya sambil menunjukkan tumpukan cassetenya.
Untuk mendukung obsesinya itu ia mendirikan yayasan “Layar Kumendung” yang bertujuan melestarikan dan mengembangkan seni budaya, meningkatkan kesejahteraan seniman, menegakkan keadilan, advokasi, penelitian dan paguyuban seniman. Yayasannya tersebut pada tahun 2002 telah diaktanotariskan denganmengajak teman-teman dekatnya. Ia berharap dengan yayasan ini ia bisa membantu sejawatnya para seniman. “Selama ini seniman-seniman hanya diplokoto saja. Diambil hasilnya saja. Hanya dipermainkan oleh pemodal yang ingin cari untung sendiri. Karyanya tiba-tiba direkam tanpa pemberitahuan. Imbalannya tidak seberapa, tapi di sana (produser) uang mengalir terus.” katanya.
Namun semua program yang ia impikan belum terwujud. Ia kesulitan dana. Album “Angklung Soren” itu sebenarnya adalah untuk memenuhi impiannya tersebut. Hasil penjualannya rencananya untuk mengeluarkan album berikutnya, mendirikan koperasi para seniman, mengadakan penelitian kesenian-kesenian di kampung-kampung dan lain-lain program yang telah ia susun. Untuk meneruskan obsesinya ini ia berencana melelang cassetenya dan menjual seluruh aset usahanya. Kemudian mengeluarkan album lagi lagu-lagu sebelum tahun 65.
Tak bisa dipungkiri, keteguhan hati Pak Slamet Menur adalah kristalisasi pengalamannya hidup di tiga jaman. Ia adalah senikan tulen. Hidupnya untuk berkesenian. Karena hidupnya murni tujuan berkesenian, maka ia bisa diterima di tiga jaman. Sebelum tahun 65 ia adalah seniman Lekra. Dialah pencipta tari genjer-genjer, belonjo wurung. Setelah tragedi 65 ia aktif di Dwi Laras milik LKN, jaman Orde Baru ia direkrut Golkar dengan menciptakan tari cengkir gadhing, nelayan, untring-untring, tari tani, seduluran. Baginya politik bukan tujuan. Politik adalah kendaraan. “Saya jangan dibawa-bawa ke politik. Lekra saya berkesenian, LKN berkesenian, Orde Baru berkesenian.Bagi saya seni tidak mengenal politik. Entah siapapun yang mengajak, saya ikuti asal tidak dikaitkan politik.” Kata pria yang pernah menari di istana negara jaman Bung Karno ini.
Pada tragedi 65 ia diciduk, diurus di kodim dari pagi sampai jam 12 malam. Ia mengaku tidak diapa-apakan malah disuruh menyanyi dan menari. Karena para tentara itu tahu kalau ia hanyalah seorang seniman. Saat ia masih dalam status wajib lapor, ia sudah berani tampil di lapangan taman Blambangan. Ia berani tampil karena ia juga dekat dekan orang-orang LKN.
Panggilan berkeseniannya inilah yang memperkenalkannya dengan lekra. Baginya lekra sangat konsisten dengan angklung dan seniman kelas bawah. Karena bakatnya di bidang tari, ia menguasai hampir semua tari di nusantara, semacam tari Bali, serampang 12 dari sumatra dan lain-lain. Karena kemampuannya itu ia dipercaya lekra untuk membina tari. Maka iapun pernah dikirim ke Surabaya untuk memperdalam teori tari. Pada waktu itu ia berkeliling Bali dan Jawa Timur untuk melatih tari. Keberaniannya mencipta tari terlecut setelah menyaksikan rombongan kesenian dari RRT di Banyuwangi. Maka iapun mulai menciptakan banyak tari. Baginya tari itu tidak sekedar gerak. Tari itu tidak sekedar ekspresi, tapi tari adalah makna. Inspirasi gerak tarinya adalah kehidupan. Tari nelayan inspirasinya adalah ombak, angin dan keringat nelayan. “Tarian saya bisa dibaca maksudnya. Tarian saya tidak sekedar gerak, ada maksudnya dan penonton bisa menimba manfaatnya.”
Pengalaman hidupnya itu membuatnya sangat tertarik kepada perjuangan kerakyatan. Kawula alit. Maka pada album kedua yang akan ia keluarkan nanti tetap konsisten memuat lagu-lagu yang menyuarakan perjuangan kerakyatan. Intinya lagu-lagu pra 65. Diantaranya yaitu lagu: don-adone sumping, genjer-genjer, nderes karet, lurkung, kembang kopi, kapitalis birokrat dan lain-lain. Sambil menjunjukkan konsep albumnya yang kedua iapun menembangkan lagu “Kapitalis Birokrat” yang menurutnya sangat cocog dengan keadaan yang dialami rakyat kecil sekarang ini…
Ngalor ngidul akeh wong kang padha sambat
Arep nempur picise sing kuwat
Ngerasakaken rega saiki
Munggahe rega sing mupakat
Aju kelendi nasibe bangsanisun ning dina mburi
Kadhung rakyat tetep melarat
Mulane ayo bebarengan………
(Di mana-mana banyak orang mengeluh
mau beli beras uang tidak cukup
merasakan harga sekarang
naik bukan alang kepalang
terus bagaimana nasib bangsaku di hari depan
kalau rakyat terus melarat
maka dari itu, mari bersama-sama…………)

Ia mengeritik syair lagu-lagu sekarang yang tidak peka. Kalau syair jaman dulu merupakan imbauan dan kritik sosial untuk menunjang perjuangan membela rakyat. Bagaimana perjuangankehidupan petani terangkat, kehidupan buruh terangkat. Syair lagu jaman dulu itu merupakan cerminan realitas di masyarakat. Apa yang dialami rakyat. Bukan cinta-cintaan saja, yang hanya mengikuti selera rendahan. Tidak ada idealisme. Malah kadang-kadang dipaksakan.
Ia meyakinkan bahwa walaupun lagu-lagu jaman dulu (baca: lekra) itu menyuarakan perjuangan rakyat, tapi tidak ada yang mengajak merusak, demo dan tindakan anarkis lainnya. “Rungokena wis, ana lagu-lagu bengen kang ngajak ngerusak?” katanya dengan mimik serius.
Soal lagu genjer-genjer tidak takut akibat politik? “ Isun saiki wis umur 65. pasarah paran jare GustiAllah… yang penting saya berjuang untuk mereka yang hidupnya tidak mampu. Kita harus bisa membedakan antara agama dan politik. Sebenarnya agama itu budi pekerti. Kalau politik, bagaimana cara menurunkan harga beras.” Kata pria yang baru menikah setelah menyekolahkan dan menikahkan semua adik-adiknya ini.
Belajar dari pengalamannya dari album yang pertama, ia telah menyiapkan komposisi musik angklung yang dikolaborasikan dengan musik patrol, saron, kendang dan biola. Yang penting masih tetap musik tradisi. Sedangkan syair-syair lagunya ia usahakan tidak diubah sebagaimana album yang pertama. Album yang pertama terpaksa ada yang diubah disesuaikan dengan kondisi sekarang. “Soal pasar saya optimis diterima pasar. Sebab penuh idealisme. Musik dan visualisasinya saya tangani sendiri.”
Soal hubungan seniman dan produser, ia akan mengawali sistem royalti di Banyuwangi. Seniman dan produser harus sama-sama untung. Selama ini tidak imbang. Pemodal yang lebih banyak untung. Untuk itu ia berjanji kalau cassetenya sudah laku para senimannya akan ia panggil untuk membicarakan untuk apa uang yang diterima. Ketika ditanya tentang harapannya tentang peranan pemerintah, ia menjawab: ”Percuma, mulai dulu campur tangan pemerintah ya begitu saja, ndak ada hasilnya. Mari ya mari, mong diempet butuhe thok.”

KETIKA BANYUWANGI NYANYIKAN LAGUNYA SENDIRI




Pethetan, ya kembang pethetan
Sun tandur ring bucu petamanan
Isuk soren sing kurang siraman
Sun jaga sun rumat temenanan

Lirik lagu ciptaan Andang CY di atas salah satu dari puluhan lagu yang populer pada tahun 70-an. Lagu-lagu Banyuwangi (Banyuwangen) mengalami kepopuleran setelah ada usaha kasetisasi pada waktu itu. Seiring dengan perkembangan teknologi rekaman yang mudah dijangkau sekarang ini, lagu-lagu Banyuwangi dan kesenian Banyuwangi pada umumnya justru mendapatkan lahan yang subur untuk berkembang. Kesenian-kesenian tradisi yang awalnya berbasis ritus sosial itu ketika bersentuhan dengan entitas lainnya seperti modal dan negara justru menunjukkan vitalitasnya sebagai seni komunal yang sangat dekat dengan masyarakat. Sekarang ini di bedak-bedak penjual CD di sepanjang jalan di Banyuwangi, sangat didominasi produk lokal utamanya lagu-lagu Banyuwangi dengan berbagai aransmen dan jenis musik. Puluhan album keluar dalam setiap bulan dan selalu diburu pembeli. Lagu-lagu Banyuwangi menjadi menu utama hiburan dalam berbagai kesempatan. Semua radio di Banyuwangi bahkan juga di seluruh Jawa Timur dan sebagian Bali memiliki mata acara lagu–lagu Banyuwangi. Pengamen di bis dan lampu merah tak ketinggalan juga menyanyikan lagu lokal. Kasus Banyuwangi ini menepis kehawatiran dan anggapan banyak pihak bahwa biasanya kesenian lokal ketika berhadapan dengan modernitas akan mengalami marginalitas, dan ditinggalkan pendukungnya.

Politik Identitas dan Peranan Pemerintah
Industri rekaman di Banyuwangi berawal dari upaya pemerintah daerah menemukan kembali kekhasan daerah sebagai identitas. Adalah Hasan Ali pegawai kesra Pemda Banyuwangi kala itu dengan didukung oleh bupati Joko Supaat Slamet berinisiatif merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam rangka menggairahkan kesenian dan budaya lokal. Lagu-lagu Using sendiri sebelumnya telah tertempa dan mengalami kegairahannya sendiri seiring dengan digunakannya lagu Using dalam ranah politik, terutama oleh Lekra (PKI) dan LKN (PNI).
Dengan peralatan yang sederhana bertempat di belakang pendopo kabupaten, rekaman dilaksanakan pada malam hari untuk menghindari suara bising di bawah rindang pohon mangga. Tidak jarang rekaman harus dilakukan berulang-ulang dalam beberapa malam karena belum ada teknik dubbing. Bahkan rekaman harus dilakukan ulang, karena salah satu alat musik kejatuhan buah mangga dan mengganggu konsep bunyi yang diharapkan.
Pilihan jenis musiknya pada waktu itu adalah gabungan angklung dan gandrung. Dipilihnya jenis musik ini menurut Hasan Ali untuk mengeliminir protes masyarakat yang masih pobia terhadap musik-musik Lekra. Karena angklung sangat identik dengan Lekra, maka angklung dicampur dengan warna musik gandrung yang lebih diterima umum. Sedangkan lagu dan syairnya kebanyakan karya Andang CY, Basir Nurdian, Mahfud, Indro Wilis dan lain-lain yang kesemuanya adalah seniman kiri. Pilihan ini wajar karena pencipta dan pengarang pada waktu itu umumnya adalah para seniman kiri.
Ketika produk kaset beredar di masyarakat, harapan pemerintah akan gairahnya kebudayaan lokal sangat menggembirakan. Lagu-lagu angklung populer dan nyanyikan masyarakat di mana-mana. “Cilik gedhe, tuwek enom kabeh dhemen,” kata Hasan Ali. Maka target pembentukan identitas daerah telah menunjukkan wujudnya. Saat itulah kemudian terjadi benturan ketika ada keinginan perekam lain yang ingin mengusung jenis musik lain, yang bukan angklung dan gandrung. Fatrah Abal, seorang pengusaha sekaligus seniman pada waktu itu, mendirikan studio rekaman Lokanada dan mengusung jenis musik melayu dengan syair lagu berbahasa Using. Melihat genre musik lain yang tidak dianggap identitas daerah ini pemda langsung mengambil tindakan dan menganjurkan agar membatalkan konsep tersebut. Fatrah Abal sebenarnya mempunyai target lain dengan dipilihnya musik melayu, yaitu agar persebaran lagu Banyuwangi itu lebih luas ke kantung-kantung kampung santri. Karena selama ini kampung-kampung tersebut tidak menerima jenis musik dan kesenian yang berbau lokal seperti gandrung. Maka ketika lagu melayu berbahasa Using beredar di masyarakat ternyata juga diterima. Bukan itu saja kemudian dampaknya, lagu madura lagu jawa juga di rekam di Banyuwangi. Dan nyata diakui oleh produsernya wilayah pasarnya lebih luas.
Perkembangan jenis musik melayu pada akhirnya memunculkan genre musik kendang kempul di Genteng Banyuwangi selatan yang lebih bersentuhan dengan jenis alat musik elektrik. Sedangkan di Banyuwangi utara berkutat pada musik tradisi. Dua poros utara selatan ini samapi sekarang masih menunjukkan warnanya. Daerah Banyuwangi selatan yang merupakan basis masyarakat jawa mataraman pengembangan musiknya pada dekade tertentu lebih memiliki ruang bebas. Sedang poros Banyuwangi utara, berteguh menggali ruh warna musik tradisi dan berbangga pada keluhuran nilai sastra Using.
Tapi nampaknya sekarang perkembangan yang hanya mempertimbangkan pasar, dua poros tadi sudah terjadi konvergensi. Dan disatukan oleh satu media bahasa yaitu bahasa Using. Walaupun apresiasinya berbeda-beda.
Ketika awal perkembangan, lagu-lagu seniman lekra yang hadir, muncullah upaya penyaringan oleh pemda. Penyaringan itu terutama pada syair-syair yang berbau kiri. Syair-syair lagu yang akan direkam harus masuk ke pemda selain untuk skcreening politik juga sebagai pendataan lagu dan pengarangnya. Semacam perlindungan hak cipta.
Soal syair ini tak jarang seniman harus berurusan dengan kodim. Karena soal interpretasi, maka sering muncul interpretasi yang berbeda atas satu syair yang sama. Kasus lagu Pethetan diaatas misalnya. Andang CY pengarang lagu tersebut terpaksa berurusan dengan kodim karena soal interpretasi syair. Lagu tersebut telah lolos penyaringan pemda – dalam hal ini Hasan Ali. Namun kodim mempunyai penafsiran berbeda. Syair: sun tandur ring bucu petaman (saya tanam di pojok taman), diartikan politis oleh kodim, yaitu gambar bendera Rusia dimana pojoknya adalah gambar palu arit. Padahal lagu tersebut murni soal asmara. Kata bucu dalam bahasa Using juga bermakna tempat yang paling indah. Setelah melalui negosiasi dan peranan Hasan Ali menjamin lagu pethetan steril politik, Andang CY tidak jadi masuk bui.
Tidak bisa dipungkiri lagu Using telah menjadi identitas daerah. maka pemdapun merasa bertanggung jawab melindungi senimannya. Dan ketika rekaman sudah masuk kapitalisasi, dimana stidio rekaman Surabaya invansi ke Banyuwangi, pemda mengambil peran penting untuk tetap menyaring syair lagu berbau politis, dengan ancaman pemda akan menolak peredaran kaset tersebut di Banyuwangi.

Kapitalisasi Lagu Banyuwangi dan Posisi Seniman
Lagu Banyuwangi awalnya untuk identitas daerah. sesuatu yang dianggap ideal. Namun sejak awal perkembangannya sudah dikuasai kapital. Rekaman pertama di belakang pendopo itu sudah melibatkan studio Sarinande dan Ria. Dua studio rekaman di Banyuwangi waktu itu yang digandeng pemda sebagai rekanan. Rekanan menyediakan alat rekam dan penggandaan serta pemasaran. Pengarang lagu bahkan awalnya tidak dibayar. Kondisi waktu itu memungkinkan hal tersebut. “pokoke lagu direkam, girang wis,” kata Andang CY. Namun ketiak persebaran kaset telah mencapai ribuan dan sampai di daerah luar Banyuwangi, pengarang memperoleh kepopuleran, produser memperoleh keuntungan, maka hukum pasar yang berlaku.
Relasi antar seniman dan produser serta pemda di lain pihak, berpusar antara logika pasar dan idialisme. Produser sudah merasa membutuhkan pengarang, pengarang lagu juga merasakan hal yang sama. Maka sedikit demi sedikit persaingan antar pengarang muncul, demikian juga persaingan antar produser, walaupun diakui oleh mereka persaingan waktu itu tidak sengit. Yang jelas bagi para pengarang semacam Andang CY, Basir dan Mahfud idialisme awal yang penting syairnya dikenal masyarakat dan pesannya moral sosialnya sampai, telah luntur. “Serta ana dolare, ana picise, bida pena. Mulai napsi-napsi. Dhewek-dhewekan.” Kata Andang CY. Pada waktu itu Andang CY sampai menciptakan syair sebagai self critic (betulkan istilahnya, mas) sessama pengarang yang telah memburu uang. Syairnya berjudul picis (uang): picis rasane keliwat manis, tapi picis iku angkuh, iman kukuh ditendhang rubuh, wong kang mata picisen tega nyawang kanca lempiriten.
Karena itu posisi seniman menjadi lemah di hadapan produser. Untuk mengikat pengarang lagu, produser tidak segan memberi barang berharga, dengan akibat lagu tidak memiliki harga tawar. Lemahnya posisi seniman itu bisa dilihat dari kondisi ekonomi beberapa seniman. Basir Nurdian, pencipta lagu Umbul-umbul Blambangan yang terkenal dan lebih dari 200 lagu lainnya, hidup dalam kesederhanaan. Bahkan ia sering menerima uang setelah lagu-lagunya direkam ulang tanpa ijinnya. Tapi ia tidak mampu memasang harga. Karena biasanya lagunya tiba-tiba direkam begitu saja. Dan ia tidak bisa mengontrol dan mengetahui berapa keping CD atau kaset telah direkam lagunya. Oleh karena itu ketika ditanya bagaimana siasatnya untuk menghadapi produser, ia hanya pasrah dan menerima saja. “Rumangsaa baen munggone. Kadhung nyang umah wong-wong iku sun kongkon nggawa sabun lan anduk, makene weruh kadhung umahisun bocor kabeh,” kata Basir di rumahnya yang sederhana.
Dengan semakin mudahnya proses rekaman dan pembuatan master album, puluhan studio rekaman muncul di Banyuwangi. Istilahnya ada studio yang punya bendera semacam Sandi Record, Safari Record, Indra Record, Scorpio Record, Fista Jaya record, Gemini Record dan puluhan studio home industri atau studio rumahan. Kalau dekade sebelumnya seniman Banyuwangi merekam lagu di Surabaya semacam Golden Hand, sekarang sudah bisa secara mandiri di Banyuwangi. Dengan sekian banyak studio rekaman, rata-rata dalam satu bulan bisa lima sampai tujuh album dilemparkan ke pasar. Penyanyi dan pencipta lagu juga tumbuh bagai jamur. Seakan-akan semua orang bisa menjadi pecipta lagu. Memang tidak semuanya berhasil. Penyanyi dan pencipta lagu Adistya Mayasari misalnya, albumnya yang bertajuk “Kangen” hasil kolaborasi dengan grup Rolas (Rogojampi Orkestra Lare Asli) yang berisi 10 tembang menurut pengakuan Mas Sandi (produser Sandi Record) telah terjual 100 ribu keping lebih. Ketika masuk dunia kapital yang sangat menguntungkan inilah konflik-konflik muncul baik anatara pencipta dengan musisi, pencipta dengan produser dan seterusnya. Konflik itu muncul karena kurang kuatnya perjanjian awalnya. Perjanjian pembagian hasil yang kurang tegas, dan keinginan yang bersifat pribadi dan lain-lain. Karena sebelumnya mereka tidak menduga album akan laku demikian keras. Pada saat beginilah rentannya posisi seniman. Maka kapital yang mengendalikan. Kasus Rolas, misalnya. Saat albumnya laku diatas angka 65 ribu, maka ada konflik di dalam. Penyelesaiannya akhirnya master album tersebut di jual ke produser. Dan senimannya pasti kemudian tidak akan mendapatkan hasil dari sekian puluh ribu keping yang terjual kemudian.
Bagaimana posisi seniman? Pasar yang menentukan. Ketika penyanyi banyak bermunculan, maka daya tawarnyapun murah. Bahkan bagi penyanyi yang baru muncul tak dibayarpun tak mengapa. Atau dibayar ketika albumnya sudah laku. Ketika banyak pencipta lagu bermunculan, pasarpun menghargainya dengan murah. Untuk mengurangi daya tawar penyanyi produser bersiasat dengan sebanyak mungkin memunculkan penyanyi baru yang potensial. Biasanya diikutkan pada album artis yang sudah punya nama. Dengan semakin banyaknya penyanyi yang berkualitas, dan pilihan yang beragam artis papan atas akan pikir dua kali pasang tarip mahal.
Hasil dari pergumulan pasar itulah kemudian melahirkan dan menyaring mana pengarang lagu yang berkualitas, mana penyanyi yang disukai masyarakat. Pada deretas atas pencipta lagu bisa disebut misalnya Catur Arum, Yon DD, Adistya, Miswan dan beberapa nama yang lain satu lagunya bisa berharga di atas dua juta. Demikian pengakuan Mas Sandi. Satu juta apabila reliase. Di deretan penyanyi bisa disebut yaitu, Catur Arum, Dian Ratih, Lisa, Adistya dan nama-nama yang lain, rekaman satu lagu sudah berharga di atas 2 juta. Para artis papan atas Banyuwangi ini sudah merasakan berkah marakanya industri rekaman dengan peningkatan kesejahteraan meraka.
Namun tidak semua pencipta dan penyanyi merasakan hal yang sama. Kadang-kadang pembagian itu, karena tidak adanya saling kontrol, sangat tidak imbang. Pernah penyanyinya, karena dia penyanyi yang sedang top, memperoleh imbalan dalam satu album sejumlah 25 juta, tapi pengarang lagunya hanya memperoleh 2 jutaan. Barangkali dalam hal seperti inilah perlu dibangun kesepakatan dan regulasi untuk adilnya pembagian rizki.
Sistem royalti di Banyuwangi belum ada. Yang berkembang adalah sistem beli lepas. Maksudnya produser membeli hak cipta pertama, membayar penyanyinya, musisinya, penari latarnya, dan lain-lain selesai. Kemudian dibikin master, digandakan dan dipasarkan. Kalau album itu laku keras, baru produser memberikan bonus kepada senimannya, itupun tidak mengikat. Ketika ditanya apakah produser tidak menerapkan sistem royalti, Mas Sandi mepertanyakan komitmen produser yang lain. Apakah produser lain juga mau menerapkan sistem royalti. Selama ini produser ngikuti saja hukum pasar. Honor artis, ngelihat kelasnya. Sistemnya bisa perlagu atau peralbum. Artis ada yang pasang harga ada yang tidak. Bagi yang sudah populer semacam Catur Arum, ia sudah pasang harga. Siapapun yang ngajak, tarifnya sekian. Sedangkan yang lain punya kiat sendiri-sendiri. Adistya misalnya, ia tidak selalu mau untuk diajak rekaman. Ia akan pilih momen dan kualitas lagu. Ia tidak ingin selalu muncul. Inipun dalam rangka mempertahankan pasar. Agar masyarakat tidak jenuh.
Namun demikian bukan berarti tidak ada resikonya bisnis di bidang rekaman ini. Menurut Mas Sandi, dari sekitar 35 album yang dikeluarkan, 15 album diantaranya gagal. Ketika memproduksi album POB “Janur Melengkung” ia invest lebih dari 100 juta. Karena rekaman harus di Jakarta, biaya audio dan vidio sekitar 80 juta, ditambah akomodasi di Jakarta kemudian penggandaan. Sampai saat ini modal album tersebut belum kembali. Padahal materi lagu bagus, penyanyi bagus. Tapi pasar mengalami kejenuhan lagu baru. Terlalu banyak lagu baru yang keluar. Masyarakat belum menikmati lagu yang baru, sudah muncul lagu baru berikutnya.
Produser harus pandai membaca selera pasar. Harus pandai melakukan terobosan dan butuh keberanian berspekulasi. Yang dikira orang tidak laku, ternyata asalkan menawarkan hal yang baru, maka akanditerima pasar. Misalnya sekarang ia mengeluarkan album host, disco. Sebelumnya banyak yang menyangsikan jenis musik ini. Tapi ternyata dengan keberanian berspekulasi ia produksi dan ternyata diterima. Dan ternyata pasar juga menghendaki keunikan. Ketika vokal disco itu vokal gandrung yatiu Mbok Temu, gandrung senior, justru sangat diterima oleh masyarakat.
Musik disco diterima pasar, karena telah terjadi kejenuhan jenis musik. Tanda-tanda kejenuhan pasar adalah album-album yang dikeluarkan dengan warna musik patrol cenderung stagnan. Padahal materinya bagus, baik penyanyi maupun musiknya. Maka harus ditangkap bahwa pasar menghendaki jenis musik lain.Sekarang hampir semua produser mengeluarkan album disco etnik. Mengeluarkan album host atau disco, kata Mas Sandi lebih cepat produksinya. Pengambilan gambar tidak memerlukan banyak tempat, cukup permainan lampu. Yang penting materi lagu dan penyanyinya serta visualnya. Selain itu kecocogan karakter suara penyanyi dengan materi lagu harus dipertimbangkan secara matang.
Untuk menjajagi pasar, biasanya produser mencetak dalam bentuk kotak dulu (cassete). Kalau dapat respon bagus, maka selanjutnya dicetak dalam bentuk CD. Indikator respon pasar antara lain, volume kemunculan lagu tersebut di radio-radio. Kalau pemirsa banyak meminta lagu tersebut itu sudah indikator yang baik. Maka sebelum dicetak dalam bentuk CD, produser memanfaatkan media radio untuk publikasi dan promosi. Bahkan menjalin keakraban dengan penyiar radio tersebut. Keakraban dengan penyiar akan membatu volume tampilnya lagu di radio. Semakinsering lagu baru tayang di radio, masyarakat mejadi dekat dan akrab. Maka merekapunmencarinya di bedak-bedak penjualan CD.
Jumlah penggandaan album, melihat jenis albumnya. Kalau semacam album disco yang lagi laris, maka bisa langsung digandakan 20 ribu keping. Tapi kalau semacam CD kesenian yang tak populer semacam jaranan, angklung caruk, digandakan tidaklebih dari 5 ribu keping. Lebih dari jumlah tersebut resikonya tinggi.
Pemasaran kaset dan CD Banyuwangi mencapai seluruh Jatimdan sebagian Bali. Secara perorangan ada juga yang menjual di Kalimantan, Sematra dan Silawesi. Sistem dan jaringan pemasaran sudah terbentuk. Dari produser turun ke distributor. Distributor bisa lembaga, perorangan atau toko. Produser juga biasanya sekaligus sebagai distributor. Dari distributor turun ke sales di masing-masing kecamatan atau temapt. Sales biasanya perorangan. Sales inilah yang mengedarkan CD samapi ke bedak-bedak. Dari bedak pembayaran ada yang case ada yang laku bayar. Ngelihat albumnya. Kalau albuk tersebut diminati pasar, bedak berani case. Sales beli ke distributor perkeping Rp 8000. bedak menual Rp 10.000 sampai Rp 12.500.
Antar produser nggak ada persaingan menjatuhkan. Termasuk produser di luar Banyuwangi. Karena sebenarnya rugi kalau saling menjatuhkan. Yang sering muncul problem justru dengan pencipta lagu. Kadang produser telah membeli lagu dan bikin master dan belum diedarkan, tapi lagu tersebut oleh penciptanya sudah dijual ke produser lain dalam versi yang sama. Di sinilah ketergantunagan produser kepada pencipta lagu membuat mereka tidak mampu komplain kepada pengarang lagu. Karena ia butuh lagunya untuk produksi selanjutnya. Apalagi dengan pengarang lagu tersebut telah terjalin pertemanan yang akrab. Dalam kondisi seperti ini kerugian yang pasti. Belum kembali modal sudah keluar lagi pada versi yang hampir sama.
Agar terjalin kerjasama yang saling menguntungkan, semua pihak yang dihubungi belum bisa memberikan solusi yang tepat. Ada yang menawarkan kerjasama antar produser. Misalnya dibangun kesepakan untuk tidak merekam lagu yang masih milik produser lain. Tapi kreteria lagu masih milik orang lain masih belum jelas di Banyuwangi. Berapa la telah beredar di pasar. Atau apakah lagu itu haknya pengarang lagu. Kode etik bagi pengarang lagu untuk tidak menjual lagu yang sama ke beberapa produserpun tidak ada. Sedangkanlagu yang dijual itu sangat marketable. Namun hal ini nampaknya tidak mugkin, karena masing-masning produser punya kepentingan sendiri-sendiri.
Bagaimana dengan regulasi? Apakah perda atau Sk bupati misalnya. Ada yang mengharapkan tapi banyak juga yang skeptis. Sandi misalnya, karena ia merasa tidakmampumemberikan solusi, ia menerima saja ide tentang regulasi itu. Tapi akhirnya ia meragukan pendapatnya itu. Karena pernah DKB dan Disbudpar mengumpulkan para pencipta lagu, aranger, penyanyi se kabupaten Banyuwangi. Pada kesempatan itu terbentuk asosiasi seniman pencipta dan aransmen lagu Banyuwangi. “Tapi nyatanya kosong” kata Sandi. Ia malah gabung dengan APPRI Jawa Timur, dalam setiap label albumnya.
Ada juga yang menginginkan agar produser dan pencipta lgu itu membangun kesepakatan untuk pengaturan pengeluaran album. Agar dalam waktu bersamaan tidfak keluar album yang versinya sama. Ini untuk menhindari kerugian produser. Demikian kata H. Aris, produser sekaligus pemilik bedak di taman Sritanjung Banyuwangi. Tapi nampaknya sangat berat kalu membangun kesepakatan antar produser apalagi dalam hal mengeluarkan album. “itu hak intern produser” kata Sandi yang juga ngeluarkan album lawak Using ini.
Mengapa ia mengeluarkan album lawak Using? Pertimbangannya juga mudah. Yaitu kecenderungan pasar. Ketika pelawak Bodos sering diundang dalam hajatan mengapa tidak direkam di CD? Masyarakat akan lebih mudah mengakses. Tidak perlu datang ke hajatan. Dengan cd bisa diputar sewaktu-waktu.
Jadi kesenian apapun di Banyuwangi ketika bersentuhan dengan pasar dan menjanjikan secara materi maka terjadilah kerja sama antar seniman dengan pemodal. Walaupun kepentingannya sesaat, dan kadang tidak jelas siapa yang diuntungkan dan dirugikan. Para seniman sendiri kebanyakan kurang menyadari posisinya. Antara kepentingan popularitas dan ketakberdayaan modal. Maka di tengah maraknya dunia rekaman di Banyuwangi sampai saat ini pemodal yang berani berspekulasi yang pandai membaca kecenderungan pasar dan teliti mempersiapkan pernik-pernik produksi maka ia yang meraih untung. Tapi memang akhirnya mereka yang punya modal kuatlah yang berani berspekulasi. Dan keuntungan seakan selalu menjadi hak mereka.
Bagaimana mendobrak pasar yang cenderung pragmatis? Bahkan kadang-kadang tak mengindahkan kualitas? Sedang masyarakat juga kurang kritis? Bagaimana agar idialisme juga diperjuangkan? Dan bagaimana memperjuangkan posisi seniman? Bisakah asosiasi mempengaruhi pasar? “Ketika kita campur tangan ke pasar, pasar punya keunikan sendiri”, kata Momo, salah seorang pencipta lagu. “Kecuali kita mengadakan produksi tandingan!” lanjutnya. Dengan syarat, produksi yang ideal, siap bangkrut, hanya materi yang berkualitas yang dimasukkan, baik lagu maupun penyanyi dan lain-lain. Dengan musik dan syair yang bermakna dan berdampak sosial dan visualisasi yang sempurna kemudian kita tawarkan ke pasar. Dan tidak ketinggalan dimulai dan dikenalkan kepada seluruh seniman pencipta lagu dan penyanyi sistem royalti. Akhirnya masyarakat mengetahui dan terajari menemukan dan memilih produk yang berkualitas. Kalau ini pilihannya, sebenarnya ini bukan mimpi tetapi tantangan.
Visualisasi, antara Idealisme dan Pragmatisme
Para budayawan Banyuwangi melalui DKB (Dewan Kesenian Blambangan) pernah mengeluhkan tentang rendahnya kualitas klip musik Banyuwangi. Keluhan dan keberatan ini malah akhirnya berkembang pada kritik-kritik yang lebih detail. Misalnya kritik terhadap pakaian penari latar, gerakan tari yang dianggap tidak senonoh, bahkan sampai kriteria pakaian-pakaian yang dianggap tradisional. Kalau klip lagu Banyuwangi ya pakaian harus pakaian adat Banyuwangi, katanya. Jangan campur baur yang bisa mengaburkan identitas budaya Banyuwangi. Dan berbagai keluahan yang lain soal klip lagu Banyuwangi.
Menindaklanjuti keresahan ini maka dikumpulkanlah para produsen dan pekerja rekaman di pendopo kabupaten dengan mendatangkan para kritikus lokal. Pada kesempatan itu diputar mana klip yang tak baik dan dijelaskan bagaimana sebaiknya. Termasuk juga bagaimana menyusun syair yang bagus dengan kadar sastra Using yang kuat.
Tapi begitulah idealisme kadang berlawanan dengan kecenderungan dan keinginan masyarakat. Masyarakat tetap tak peduli mana yang klip baik mana tidak. Masyarakat punya penilaian sendiri apa yang kan dibeli. Dan nyatanya apapun bentuknya produksi klip, diterima saja oleh masyarakat. Akhirnya pekerja rekaman kembali pada sikap pragmatis. Bikin klip yang sederhana tidak berbiaya tinggi tapi diminati masyarakat. Sekali lagi pasar memang memiliki keunikan tersendiri. Kiranya kita percaya kepada perjalanan waktu. Semakin beragam yang dicerna masyarakat semakin lama juga proses belajarnya masyarakat. Kiranya harapan kita pada idialisme visualisasi, misalnya bagaimana klip lagu itu benar-benar mencerminkan realitas pada masyarakat. Klip yang mempu memberikan penyadaran terhadap masyarakat, dan lain-lain, kita tunggu saja dan pasti sejalan paralel dengan kedewasaan masyarakat.


SEKITAR PEMBUATAN ALBUM LAGU
Produksi lagu di Banyuwangi macam-macam. Live, dangdutan, original, dll.Biayanya berbeda. Proses: beli lagunya, beli penyanyinya,model klip, alat musik, sewa studio rekaman. Kalau sudah selesai audio dan vidio, ada dua pilihan. Dijual master ke produser atau diproduksi sendiri. Kemudian digandakan dan dijual.
Kalau investasi mulai nol, sekarang perlagu 200 ribu sampai 2 juta. Tergantung penciptanya. Aransmen perlagu 750 ribu dengan analognya (manual semacam kendang, suling, gong dll). Kalau aransmen elektone perlagu 200 ribu sampai 400 ribu. Penyanyi tinggal kelasnya penyanyi mulai dari tidak perlu bayar sampai 3 juta perlagu. Kalau ngambil pilihan yang ringan 20 juta sudah jadi master.
Penggandaan minimal Rp 3000x3000 keping. Itu sudah termasuk cover. Kalau tanpa cover, penggandaan perkeping 2200.
Kalau produk dijual master, resiko rendah. Tapi rugi apabila ternyata setelah dibeli produser, laku keras. Produser mau membeli master dengan analisa pribadi produser sendiri. Kalau diprediksi bagus master bisa laku 60 juta. Anda mau investasi (bertaruh) di Banyuwangi?

HASAN BASRI


GANDRUNG, KESEPIAN DI TENGAH KERAMAIAN


Di Banyuwangi berkembang berbagai jenis kesenian tradisional. Ada janger, kuntulan, kundaran, angklung caruk, barong, rengganis, gandrung dan masih banyak yang lain. Di antara sejumlah kesenian tradisional tersebut, gandrung menempati posisi istimewa sekaligus unik dilihat dari dinamika perkembangannya kaitan relasinya dengan negara, agama dan masyarakat.

Gandrung bagi banyak pengamat dan peneliti tak banyak beda dengan tayub, lengger, gambyong, teledek dan sejenisnya. Sebuah kesenian yang menampilkan seorang sampai empat orang perempuan dewasa menari, menembang, sendirian maupun berpasangan dengan penonton pria (pemaju) pada malam hari dengan iringan orkestra sederhana; gong, kethuk, keluncing (trianggel), biola, kendang. Namun bagi para tokoh di Banyuwangi gandrung tidak sekedar kesenian profan sekedar bersenang-senang menghabiskan malam, tapi sebuah kesenian yang sarat dengan nilai historis dan kepahlawanan.

Kesadaran sejarah atau barangkali lebih tepatnya romantisme historis ini berkembang pada awal tahun 70-an setelah beberapa budayawan mencoba memberikan tafsiran makna dari gending-gending klasik yang dibawakan gandrung seperti gending padha nonton, sekar jenang, seblang lokinto, layar kumendhung dan lain-lain. Kemudian ditambah diperolehnya beberapa dokumen tulisan lawas penulis Belanda dan beberapa tulisan berbahasa Inggris yang membantu upaya penggalian makna tersebut. Berdasar hasil tafsiran makna gending-gending klasik tersebut lahir wacana bahwa gandrung adalah sebuah kesenian yang berfungsi sebagai alat perjuangan melawan Belanda. Analisanya begini; setelah Perang Puputan Bayu pada tahun 1771-1772 rakyat Blambangan yang hampir habis dan sisanya tinggal memencar dalam kelompok-kelompok kecil di pedalaman hutan, maka untuk konsolidasi perjuangan dan membangkitkan lagi semangat juang lahirlah kesenian gandrung yang berkeliling menghubungi sisa-sisa pejuang yang terpencar tadi. Kesimpulan ini berdasar tulisan John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi tahun 1926. Sebenarnya tulisan Scholte ini tidak memberikan data yang cukup jelas. Keyakinan fungsi perjuangan kesenian gandrung sebenarnya lebih bertumpu pada hasil pemaknaan terhadap syair-syair klasik. Wacana gandrung sebagai alat perjuangan ini kemudian berkembang menjadi keyakinan dan kesadaran kolektif di kalangan tokoh-tokoh di Banyuwangi. Hal ini terlihat pada tulisan-tulisan yang terbit di Banyuwangi seperti buku “Gandrung Banyuwangi” yang diterbitkan oleh DKB (Dewan Kesenian Blambangan) tanpa tahun, artikel di majalah Seblang edisi II tahun 2004 yang berjudul “Gandrung Kawitane Alat Perjuwangan” dan banyak tulisan lain yang diangkat di media lokal maupun nasional.

Kesadaran sejarah peran gandrung berjalan seiring dengan upaya pencarian identitas daerah yang mulai giat dilakukan Pemda sejak awal tahun 70-an. Gandrung sebagai kesenian masyarakat Using yang dianggap sebagai masyarakat asli Banyuwangi menjadi pilihan yang paling gampang dari pada kesenian-kesenian lainnya. Selain alasan-alasan estetika, misalnya dari segi performance gandrung pasti lebih menarik dibanding angklung caruk yang seluruh pemainnya laki-laki, gandrung juga lebih populer dibanding kesenian-kesenian lainnya. Maka jadilah gandrung yang awalnya hanya dikenal di lingkungan masyarakat petani, perkebunan, nelayan yang erat dengan ritual, ditarik oleh negara menjadi identitas daerah yang sepenuhnya profan. Tahun 1975 lahirlah koreografi baru tari “Jejer Gandrung“ sebagai tari selamat datang yang digelar untuk acara-acara formal menyambut tamu negara. Sebuah tari yang mencoba merangkum seni pertunjukan gandrung yang terdiri dari babak jejer, paju dan seblang subuh yang dipentaskan semalam suntuk, diringkas hanya dalam durasi waktu 15 menit. Sebagai identitas, negara punya ukuran estetika sendiri yang ketat baik penari maupun panjak (penabuh gamelan) dan pelengkap performance lainnya. Dari sinilah kemudian gandrung sebagai kesenian memiliki dua basis pendukung, yaitu gandrung di komunitas awalnya yaitu gandrung terob dan gandrung sanggar. Gandrung terob adalah komunitas seniman kesenian gandrung dan masyarakat pendukungnya. Sedangkan gandrung sanggar adalah komunitas seniman yang menyuplai pementasan formal yang diminta negara.

Gandrung sebagai identitas bagi Banyuwangi yang multi etnik tidak selalu berada dalam satu kata. Gandrung berada dalam posisi tarik ulur dan diperdebatkan oleh kekuatan yang melingkarinya. Kekuatan tidak hanya dalam pengertian negara atau pemerintah daerah, melainkan juga wacana dominan dan nilai-nilai yang disepakati masyarakat. Dalam hal ini agamawan dengan teksnya sendiri soal ukuran-ukuran moral, budayawan dengan teksnya sendiri yaitu gandrung sebagai warisan sejarah yang luhur, negara dengan teksnya sendiri gandrung sebagai alat negara, semuanya berebut dan berpilin dengan kekuatannya masing-masing. Sedangkan komunitas gandrung terob tidak tahu menahu dan berada di luar kontestasi ini. Mereka berada dalam posisi yang dibaca.

Pergulatan ini berjalan intens walau tidak selalu secara terbuka. Kasus dibongkarnya patung gandrung di pelabuhan Ketapang atas permintaan kaum agamawan Ketapang menunjukkan hal itu. Dalam kasus ini melibatkan juga anggota DPRD yang harus turun meninjau dan menindaklanjuti pengaduan keberatan masyarakat atas adanya patung gandrung yang berada tepat di depan masjid walau sebenarnya masih dalam area pelabuhan. Namun peran dominan negara dan wacana identitas daerah mengalahkan wacana-wacana kontra. Di tengah polemik gandrung sebagai identitas Banyuwangi di sidang-sidang DPRD, pada tahun 2003 keluar SK bupati nomor 147 yang menetapkan tari jejer gandrung sebagai tari selamat datang di kabupaten Banyuwangi. Dengan demikian pemihakan terhadap gandrung bersifat politis dan menimbulkan akibat politis pula. Ketika Bupati Samsul mendirikan pusat latihan gandrung di desa Kemiren, hanya berlangsung dua tahun karena pada tahun berikutnya anggarannya tidak disetujui oleh DPRD.

Di tangan negara, gandrung sebagai identitas daerah menjadi wacana dominan. Patung dan gambar gandrung menghiasai kota dan desa. Gambar gandrung menghias tempat sampah, pot bunga di trotoar, brosur pariwisata, baliho di perempatan jalan dan dinding perkantoran. Patung gandrung diletakkan di sudut-sudut taman, gapura kampung sampai pintu masuk kabupaten. Bahkan di pintu masuk dari utara di wana wisata Watu Dodol dibangun patung gandrung setinggi 12 m. Begitulah gandrung telah direngkuh negara dan karena menjadi identitas menghendaki tunggal, maka maka gandrung sebagai sesuatu yang dilihat, sesuatu yang dinilai semakin berada di tempat tinggi dan semakin kentara untuk diperdebatkan dan diperebutkan.

Setelah gandrung menjadi identitas daerah, menjadi taruhan image daerah, maka Pemda memiliki standar estetika yang memenuhi unsur kepantasan laik jual dan membanggakan. Pada saat demikianlah kemudian ketika negara mengirimkan muhibah seni baik nasional maupun internasional terjadi proses marjinalisasi secara sistematis. Yang dipilih mewakili negara bukanlah komunitas gandrung terob melainkan gandrung sanggar yang lebih mampu memenuhi standar estetika yang ditetapkan negara. Disaat gandrung menjadi kebanggaan kolektif, justru komunitas aslinya termarjinalkan. Mereka tidak mempunyai kemampuan dan keberanian untuk berbicara, mereka lebih menganggapnya sebagai problem yang tak terucapkan.

Belum lagi problem relasinya dengan agama. Dengan semakin intensifnya proses purifikasi agama menempatkan gandrung berada pada posisi pesakitan. Gandrung distigma sebagai kesenian maksiyat dan tidak layak didekati. Konstruk agama dengan dengan seperangkat standar moralitas telah mereduksi estetika pertunjukan gandrung. Goyang pinggul, minuman keras, berbaurnya laki-laki dengan perempuan, kostum semuanya bertentangan dengan nilai dominan yang dikembangkan agama. Sekali lagi gandrung berada pada posisi yang lemah, sebagai pihak yang dinilai. Walau mereka mampu menilai namun sekali lagi tak terucap dengan lantang. Mereka dalam posisi bertahan dan sering kali secara tak sadar menerimanya sebagai kebenaran.

Ketidakseimbangan relasi inilah yang dicoba diupayakan agar terjadi relasi yang seimbang antara komunitas gandrung terob dengan kekuatan dominan yang melingkupinya. Dalam upaya menyeimbangkan relasi itu dilakukan pendekatan dengan cara yang berbeda-beda kepada hampir semua gandrung baik grup maupun perorangan. Mereka diajak berfikir secara kritis membaca posisinya sendiri di tengah relasinya dengan kelompok lain. Kita ajak mereka untuk menyadari dan berani menyuarakan kemarjinalannya, dan mampu mengevaluasi kekurangan mereka sendiri. Awalnya proses penyadaran ini cukup alot. Mereka rata-rata awalnya tidak merasa ada masalah baik kepada negara maupun kepada agama. Namun ketika pembicaraan kita tarik kepada ruang lingkup yang lebih luas di luar komunitas grupnya mereka kemudian membenarkan dan menyadari ada masalah yang mereka hadapi. Tapi mereka merasa problem itu sebagai keniscayaan dan di luar jangkauan pemikiran mereka. Problem konkrit yang mereka rasakan dan menjadi perhatian mereka umumnya masalah-masalah teknis menejemen intern grup dan relasi antar grup yang sering tidak harmonis.

Setelah kita lakukan pendekatan intensif akhirnya tumbuh kesadaran kolektif untuk memecahkan masalah secara bersama-sama. Mereka mengadakan pertemuan di rumah gandrung Temu tanggal 14 November 2006 di Dusun Kedaleman Desa Kemiren Kecamatan Glagah. Pertemuan dihadiri 27 peserta, 10 gandrung dan 17 panjak (pemusik). Pada pertemuan inilah untuk pertama kali mereka mencoba menganalisa sendiri problem yang mereka hadapi. Nyatanya pertemuan sangat hidup dan mereka antusias menyampaikan pendapatnya masing-masing.

Banyak persoalan yang mereka kemukakan, tapi kebanyakan adalah problem intern grup dan relasinya dengan grup lain. Misalnya soal kepemimpinan grup yang lemah yang menyebabkan lemahnya koordinasi yang menyebabkan rendahnya kualitas tampilan. Penguasaan gending klasik juga menjadi keluhan utamanya gandrung senior. Nampak ini kesenjangan antara seniman tua dan muda. Bagi gandrung-gandrung muda gending klasik tidak merupakan tuntutan, karena sering kali dalam pertunjukan gending klasik itu tidak diminta oleh pemaju. Penyebab lainnya menguasai gending klasik sangat sulit bagi gandrung pemula. Lebih mudah mempelajari gending-gending pop Banyuwangi keluaran baru. Gandrung senior merasa terikat dengan gending-gending klasik, gandrung muda tidak lagi.

Masalah lain yang menarik mereka kemukakan adalah lemahnya posisi gandrung di hadapan pengundang dan pemaju. Seringkali grup gandrung tidak memiliki bergaining yang kuat dengan pengundang. Tidak berani mamasang harga. Kundangan berapapun ia layani. Demikian juga di kalangan. Akibat dari lemahnya posisi gandrung ini sering kali menyebabkan kisruh antara para pemaju. Kata Mbok Temu, dulu pemaju mengikuti gandrung, sekarang gandrung mengikuti pemaju.

Soal stigma moral juga mereka kemukakan. Sering kali seorang gandrung digugat profesinya dan dipertanyakan komitmen moralnya. Hal ini minimal dialami oleh gandrung Yuyun. Ia sering kali dipertanyakan mengapa menekuni profesi gandrung yang dekat dengan mabuk-mabukan dan maksiyat baik oleh temannya maupun tetangga-tetangganya. Namun ketika hal ini diperbincangkan secara terbuka, mereka menghindar untuk memperdalam masalah. Mereka lebih bersikap membela daripada menyerang balik. Namun dalam perbincangan informal mereka berani menimbang dan membandingkan profesinya dengan profesi lain, bahkanpun dengan profesi kiyai. Mereka menggugat: “isun megawe suwengi, ndhaplang suwengi, tangan panas ngeplak kendhang, ulih piro? Pak Kiyai sukur ngomong sedhilut baen oleh picis.” Soal minuman mereka juga menggugat bahwa tidak hanya gandrung yang ada minuman keras, kesenian lainpun demikian. Bahkan mereka membandingkan lebih jahat mana minum dengan tindak korupsi para pejabat.

Tidak ketinggalan mereka juga menyampaikan uneg-unegnya tentang relasinya dengan negara. Bagi mereka negara hanya memperhatikan gandrung sanggar yang bagi mereka gandrung sanggar itu tak ubahnya gandrung-gandrungan. Bukan gandrung yang sebenarnya. Karena gandrung sanggar itu hanya menari untuk kepentingan negara. Tapi tidak mau menari di kalangan, menjadi gandrung yang sebenarnya yang harus menghadapi para pemaju semalam suntuk. Negara menjadikan gandrung sebagai identitas daerah, namun sebenarnya para pejabat itu tidak menyukai gandrung terob. Buktinya mereka tak pernah nanggap gandrung terob. Demikian antara lainkeluhan mereka.

Ketika mereka berani menyampaikan dan menyuarakan posisinya, sudah merupakan titik awal positif dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan kekuatan mereka untuk membangun relasi yang seimbang dengan kekuatan lain.
Untuk mencari pemecahan persoalan-persoalan di atas, mereka sepakat membentuk paguyuban seniman kesenian gandrung yang ditindaklanjuti dengan pertemuan II komunitas gandrung dilaksanakan di Dusun Kedasri Desa Karangrejo Kecamatan Rogojampi pada tanggal 26 November 2006. Pertemuan dihadiri 35 peserta. Karena padatnya perbincangan dan dialog pada pertemuan II ini belum sempat menyusun RAK. RAK kemudian disusun pada pertemuan berikutnya di Dusun Genitri Desa Gendoh Kecamatan Sempu di rumah Gandrung Karyatik pada hari Minggu tanggal 3 Desember 2006.

Sementara menjalankan RAK yang telah mereka susun, problem dan dinamika hidup berkesenian terus berjalan dan pendampingan berfungsi untuk mengartikulasikan setiap kejadian baik di intern komunitas maupun di luar komunitas dengan mencoba memaknai dan menganalisa masalah dan peristiwa. Misalnya soal relasinya dengan negara mereka akhirnya bisa membaca dengan jelas dengan mengalami secara langsung pada peristiwa Pethik Laut Muncar pada tanggal 3 Pebruari 2007. Catatannya sebagai berikut:

Pagi masih gelap pukul 04.00 gandrung Lia, gandrung Lina dan gandrung Siti sudah berhias mempersiapkan diri untuk undangan pentasan di acara Pethik Laut Muncar. Pak Tomo, suaminya gandrung Siti dan ayah gandrung Lia ikut membantu mempersiapkan dengan memperbaiki seperlunya omprok (mahkota) gandrung yang akan dipakai. Pukul 05.00 selesai berhias mobil jemputan dari panitia sudah menanti. Rombongan berangkat menempuih jalanan berlubang dan sampai di sebuah dusun dekat Muncar dimana para panjak sedah menanti. Diselingi canda gandrung dan panjak sebuah mobil pickup telah siap membawa mereka ke tempat acara. Mobil kecil itu penuh sesak karena harus memuat tiga gandrung dan enam panjak sekaligus seperangkat gamelan dan sound system sederhana. Dua gandrung muda Lina dan Lia duduk di kursi plastik putih sedangkan gandrung Siti duduk terjepit disela gong dan kendang. Rombongan berangkat, dan ternyata tidak menuju ke tempat acara tapi berkeliling dulu sekitar kota Muncar dan sekitarnya sambil pentas di atas mobil. Karena penuh sesak, gandrung Lina dan Lia tidak mungkin menari sambil berdiri cukup duduk sambil sesekali menggoyangkan pinggul seperlunya. Keliling kota ini ternyata merupakan syarat yang tak bisa ditingglkan bagi upacara adat pethik laut tersebut. Syaratnya gandrung telah diarak keliling kota. Setelah berkeliling, mobil menuju sebuah rumah juragan ikan untuk menari di acara ritual pemberkatan sesaji larung.

Selesai, dengan diiring beratus orang mobil menuju ke tempat acara di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang sudah penuh sesak penonton. Di tempat tersebut telah berkumpul para pejabat dinas pariwisata dengan rombongan keseniannya serta pejabat pemkab lain yang menunggu kedatangan bupati. Rombongan gandrung turun dari mobil masuk ke arena pembukaan upacara pethik laut tanpa sambutan panitia kemudian duduk begitu saja dipinggir sisi kanan panggung. Bupati datang, acara dimulai dengan pementasan kesenian Disbudpar. Kesenian pertama yang tampil adalah tari “jejer gandrung” dengan enam penari enam pemaju dengan kostum kuning mencolok. Penonton meringsek ke depan, gandrung Lina dan dan gandrung Lia tenggelam di tengah berjubelnya penonton dan wartawan. Tak satupun kamera yang mengarah ke gandrung terob ini. Semua kamera dan perhatian tertuju penuh pada gandrung sanggar yang sedang beraksi. Gandrung lia dan gandrung Lina hanya mengusap peluh yang merusak make upnya karena udara yang panas. Panggung yang di depannya duduk bupati dan para pejabat dan masyarakat adat dan ratusan penonton serta ribuan penonton di luar panggung telah menjadi milik gandrung sanggar. Gandrung terob menonton tidak, ditonton tidak.

Di tengah bupati sedang menyampaikan sambutan, gandrung Lia, Lina dan Siti telah diberi isyarat untuk meninggalkan arena upacara pembukaan menuju perahu yang akan membawanya menari di selat Bali dan mengiring sesaji yang telah diberkati. Bupati tengah berpidato, tiga gandrung menari di atas perahu. Balon warna-warni melayang keudara, perahu dengan gandrung yang menari bergerak ke tengah laut diikuti berpuluh perahu lainnya. Gandrung terus menari dan menari. Sesaji dilarung di laut dengan iringan bacaan shalawat. Perahu rombongan bupati kembali ke pantai, rombongan perahu gandrung menuju teluk Sembulungan untuk melanjutkan kewajiban menari di mengelilingi kuburan keramat di pinggir hutan.

Sekitar pukul 13.00 acara baru usai, menjelang magrib gandrung Lia, gandrung Lina, gandrung Siti tiba di rumah melepas lelah.

Peristiwa relasi gandrung terob dengan negara dan kekuatan lainnya baru terperagakan secara nyata, komunitas gandrung mencoba memahaminya untuk menyadari keberadaannya dan membangun kesadaran untuk mewujudkan relasi yang seimbang dengan kekuatan di luarnya. Mampukah mereka?

Hasan basri