Thursday, July 31, 2008

PAK PI'I, PEWARIS KEEMPAT KESENIAN BARONG KEMIREN

Pak Pii, pria berumur 70-an tahun. Perawakannya kecil, liat. Kemana-mana jalan kaki. Bahkan ke rumah anaknya di kampung sebelah, juga jalan kaki. Ia lahir dan besar di Desa Kemiren. Nama lengkapnya Sapii. Bagi orang Kemiren nama Sapii bukan berarti Syafii yang Arab. Nama Sapii tidak mengandung konotasi kesantrian, nama tersebut setara dengan nama Buang, Janoto, misalnya. Makanya di rumahnya tidak ada simbol-simbol yang menunjukkan kesantrian. Kaligrafi, foto kiyai tidak kita temukan. Rumahnya terletak di Desa Kemiren bagian timur (Kemiren Wetan) sekitar 100 m dari rumah pertama dari arah timur masuk desa Kemiren. Seperti umumnya rumah penduduk Kemiren, rumah Pak Pii membujur ke arah utara selatan terletak di sebelah utara jalan yang membelah desa Kemiren. Bagian depan rumahnya sudah dibangun permanen, sedang ¾ sisanya masih berlantai tanah berdinding gedheg. Bagian depan rumahnya itu dibangun oleh anaknya yang bekerja di Bali. Aktifitas Pak Pii dan isterinya lebih banyak dilakukan di bagian belakang rumahnya. Bagian belakang rumahnya berpintu layaknya balai keluarga. Di sinilah Pak Pii beraktifitas sehari-hari. Baru masuk ke rumahnya kita langsung akan terkesan bahwa pemilik rumah adalah orang yang sangat erat hubungannya dan sangat intens dengan kesenian barong dan nilai-nilai tradisional. Dua kepala barong yang setengah jadi tergantung di tiang rumah, gamelan, keber di tata dibagian dalam rumah. Di pojok tenggara ruang, barong tergantung di dur, dibawahnya ada perapen yang selalu siap dinyalakan.

Hampir bisa dikatakan seluruh hidup Pak Pii diabdikan untuk kesenian barong. Setiap hari semua aktifitasnya selalu dikaitkan dan berhubungan dengan hajat berkeseniannya. Sambil ke sawah misalnya, Pak Pii punya agenda lain mencari keduk untuk rambut barong. Sambil ke rumah anaknya, ia juga punya urusan untuk mencari kayu bahan baku kepala barong. Sesampai di rumahnya ia memperbaiki perangkat barong (mayo), mengerjakan pesanan, memikirkan dan mempersiapkan kundangan yang akan datang, mengingat-ingat kundangan yang baru dijalani, mencari solusi problem yang dihadapi dalam pertunjukan dan lain-lain. Saat ini ketika usianya sudah tua, ke sawah sebenarnya hanya sebagai kelangenan saja. Pagi hari ya harus ke luar rumah, ya kemana lagi kalu bukan ke sawah, atau kalau dianggap sudah tidak terlalu sering, ia akan berkunjung ke rumah anak perempuannya di kampung sebelah. Tapi dalam menjalani semua aktifitasnya itu konsentrasinya tetap ke hajat berkeseniannya. Seperti dikatakan oleh isterinya, setiap kali pulang pasti ada saja yang di bawa. Semuanya berkaitan dengan kesenian barong.

Pak Pii menerima tanggungjawab memelihara kesenian barong dari kakaknya yang bernama Pak Samsuri. Pak Samsuri menerima dari ayahnya yaitu Pak Tompo. Pak Tompo menerima dari ayahnya yaitu Mbah Saminah. Jadi secara turun temurun Pak Pii seluruh keluarga Pak Pii mengabdikan hidupnya untuk kesenian barong.
Karena seluruh keluarganya pecinta kesenian barong, sejak kecil Pak Pii sudah akarab dengan kesenian ini. Semasa kecil, saat kesenian barong masih dipegang ayahnya, Pak Pii kecil sering memaksa kepada ayahnya untuk ikut kundangan barong. Masih dalam ingatannya, pertama kali ia ikut tampil dalam pentas kesenian barong adalah di desa Bulupayung dan menjadi pemeran pitik-pitikan. Untuk menuju ke tempat kundangan, jaman dulu belum ada kendaraan. Jadi semua anggota rombongan jalan kaki. Karena masih kecil dan jalanan licin, Pak Pii harus dipanggul oleh salah satu anak buah bapaknya yatiu Wak Mad. Sejak pertama kali tampil itulah keterlibatan Pak Pii kepada kesenian barong makin intensif.

Bagi Pak Pii mengurus kesenian barong tidak sekedar untuk kepentingan ekonomis tapi dihayati sudah menjadi jalan hidupnya yang harus dilalui. Baginya barong bukan sekedar kesenian profan, tapi juga sebagai ekspresi transendental. Barong adalah media mewujudkan harmoni kehidupan. Harmoni lahir batin. Dan sebagai tanggungjwabnya untuk menjaga keselamatan desa Kemiren. Karena Pak Pii yakin dengan kesenian barong ini Buyut Cili (pepunden desa) menjadi senang dan akan menjaga keselamatan desa. Kalau barong tidak dipelihara, ia takut akan terjadi ketidakharmonisan kehidupan. Bencana, kriminalitas, ketidakberuntungan dan lain-lain.

Karena kesenian barong merupakan kesenangan Buyut Cili, maka apapun kejadiannya bagi Pak Pii kesenian barong tidak boleh hilang. Kalau sampai hal itu terjadi pasti terjadi balak bencana. Keyakinan itu kuat melekat. Kejadian yang menimpa ayahnya tidak bisa ia lupakan. Pada waktu itu karena sesuatu hal, kesenian barong diberhentikan. Maka bencanapun datang. Banyak penyakit di Kemiren termasuk Pak Tompo. Pak Tompo yang sakit keras dibawa kemana-mana untuk berobat. Tapi tidak sembuh juga. Sakitnya berlarut-larut. Akhirnya ada orang tua yang menasehati: “Tambanono kembang kenongo, mengko mari.” Maka dicari-cari kembang kenanga itu. Tapi tidak ketemu juga. Setelah ditanyakan kesana kemari maksud nasehat itu adalah “kenongo” mengandung maksud “kenonge kudu ono”. Kemudian dimengerti bahwa untuk menyembuhkan penyakitnya Pak Tompo tiada lain adalah kenongnya harus ada, kenongnya harus dibunyikan, kesenian barong harus dihidupkan lagi. Maka setelah kesenian barong dihidupkan lagi, aktifitas latihan di depan rumah ramai dan kehadiran para anggota grup barong meramaikan suasana rumah, penyakitnya Pak Tompo sembuh. Menurut Pak Pii kejadian-kejadian itu semuanya bersumber pada Buyut Cili. Karena Buyut Cili sangat menyenangi kesenian barong, maka ketika dihentikan, Buyut Cili memperingatkan dengan cara memberi bencana.

Sejak awal menurut Pak Pii kesenian barong memang dipersembahkan untuk Buyut Cili. Mbah Saminah, kakeknya Pak Pii, pertama kali membuat barong berawal dari penyelenggaraan upacara adat sakral dalam rangka selamatan desa. Sebagaimana umumnya kala itu, selamatan desa diselenggarakan dengan prosesi “ider bumi”. Di Desa Kemiren pada waktu itu adat ider bumi disertai dengan mengarak penari seblang. Mbah Sapuah, yang menjadi seblang, kerasukan roh Buyut Cili. Buyut Cili menghendaki supaya seblang dipindahkan ke Desa Uli-Ulian (Olehsari) dan di Kemiren supaya diadakan kesenian Barong. Atas permintaan roh Buyut Cili lewat penari seblang tersebut Mbah Saminah segera membuat barong yang akan digunakan upacara ider bumi. Di rumah, Mbah Saminah kebetulan telah memiliki topeng sederhana yang digunakan untuk tolak balak. Agar lebih baik, Mbah Saminah memesan topeng barong yang baru kepada orang Bali yang bertempat tinggal di Desa Dandangwiring. Dengan kreasinya Mbah Saminah dan orang Kemiren kala itu terbuatlah barong sederhana sekedar untuk melengkapi upacara ider bumi. Jadi dengan kata lain barong secara tidak langsung milik Buyut Cili. Maka segala sesuatunya Buyut Cili juga ikut mengatur.

Ketika Buyut Cili dipercaya ikut juga mengatur kesenian barong, maka menurut Pak Pii pantang mengadakan perubahan tanpa petunjuk Buyut. Kalau tidak ada petunjuk berarti kesenian barong harus seperti adanya sekarang, tidak boleh diubah-ubah. Tidak boleh dikreasi. Memelihara kesenian barong tidak boleh neko-neko, katanya. Ada kejadian, dulu Barong Kemiren kundangan ke Sumberberas, selatan Muncar. Pagi setelah bubaran, Pak Pii dipanggil yang punya hajat, ternyata ia dimarahi karena dalam cerita yang dilakonkan tadi malam menceritakan isterinya Pak Mantri diambil oleh Lodaya. Yang punya hajat itu menggugat, mengapa isterinya seorang mantri kok sampai bisa diambil oleh orang. Urus-punya urus, ternyata yang punya hajat itu seorang mantri.

Sesampai di rumah Pak Pii berpikir, inginnya kundangan barong jauh-jauh ke Sumberberas pulang bisa membawa hal-hal yang menggembirakan tapi ini malah dimarahi orang. Ini gara-gara cerita Lodaya. Setelah lama berfikir, Pak Pii berkeinginan untuk menambahi cerita yang dibawakan kesenian barong agar tidak hanya cerita itu-itu saja (cerita pakemnya yaitu “Jakripah”, “Panji Sumirah”, “Suwarti” dan “Lodaya”). Setelah berembug dengan teman-temannya disepakati untuk mencari cerita ke Rogojampi. Sepulang dari Rogojampi dapat lima cerita. Dalam salah satu cerita itu antara lain harus ada monyet-monyetannya. Maka pada kundangan berikutnya dipakailah lakon baru tadi. Yang terjadi selanjutnya ternyata Pak Pii menderita sakit yang bermacam-macam. Sakit gatal, sakit dada, perut. Tapi Pak Pii belum menyadari apa-apa.

Tidak kuat menaggung sakit, Pak Pii tanya dukun yang baik. Kemudian ada yang menganjurkan untuk pergi ke Mojoroto. “Meronoo nyang Mojoroto ambi anakiro, nggowoo kembang ngelawar,” begitu kata yang menasehati. Sampai di Mojoroto, anaknya Pak Pii disuruh melihat air di dalam gelas. Menurut penglihatan anaknya di dalam gelas itu ada gambar monyet pelangi merah dan hijau. Si orang tua tadi langsung bisa menebak apa penyebab sakitnya Pak Pii. Ia bertanya apakah Pak Pii punya salah kepada barong. Di depan orang tua tersebut Pak Pii masih belum menyadari kesalahannya. Setelah sampai di rumah baru ia menyadari yaitu cerita yang ada monyetnya itulah yang menyebabkan ia menderita penyakit gatal. Langsung saja monyet-monyetan yang baru saja ia buat dibakar. Setelah itu semua sakitnya sembuh.

Kejadian-kejadian seperti diatas yang semakin memperkuat keyakinan Pak Pii terhadap peranan Buyut Cili. Karena kejadian-kejadian seperti ini juga disaksikan oleh orang lain, maka kepercayaan pada umumnya orang Kemiren juga begitu. “Omongan lan pikirane wong Kemiren ya gedigu iku”(Apa yang dibicarakan dan dipikirkan orang Kemiren –terhadap Buyut Cili- memang begitu), kata Pak Pii.

Untuk itu bagi Pak Pii berat atau ringan kesenian barong harus dihidup-hidupkan dan dipelihara. Pak Pii memegang kuat petuah orang tua yang mengatakan: “Wis kang omes ngerumat barong, songgane sing ana kang ngundang gantungen baen wis” (Sudahlah yang sabar memelihara kesenian Barong, misalkan tidak ada yang ngundang simpan dengan cara digantung). Karena weluri inilah barong di rumah Pak Pii itu disimpan dengan cara digantung di dur rumahnya.

Saat usianya semakin tua seperti sekarang, Pak Pii masih aktif mengurus barong. Setiap kali kundangan Pak Pii tidak lupa nyekar ke makam Buyut Cili untuk minta ijin dan perlindungan. Setiap malam Jumat dan malam Senin Pak Pii tidak lupa membakar menyan di bawah barong di pojok ruang rumahnya. Untuk mempersiapkan penggantinya Pak Pii sudah menggadang-gadang adiknya yaitu Pak Sake untuk diberi tanggung jawab memelihara barong. Kalau sudah sampai pada saatnya ia akan berwasiat kepada adiknya seperti ia menerima wasiyat dari kakaknya dulu. Ia masih teringat wasiyat kakaknya: “Barong iki sing ulih leren, rumaten barong iki. Kadung sing sira kang ngerumat sapa anake bapak kang gelem? (Kesenian barong tidak boleh hilang, rawatlah kesenian barong ini. Kalau bukan kamu terus siapa yang memelihara barong?).