Thursday, July 31, 2008

KETIKA BANYUWANGI NYANYIKAN LAGUNYA SENDIRI




Pethetan, ya kembang pethetan
Sun tandur ring bucu petamanan
Isuk soren sing kurang siraman
Sun jaga sun rumat temenanan

Lirik lagu ciptaan Andang CY di atas salah satu dari puluhan lagu yang populer pada tahun 70-an. Lagu-lagu Banyuwangi (Banyuwangen) mengalami kepopuleran setelah ada usaha kasetisasi pada waktu itu. Seiring dengan perkembangan teknologi rekaman yang mudah dijangkau sekarang ini, lagu-lagu Banyuwangi dan kesenian Banyuwangi pada umumnya justru mendapatkan lahan yang subur untuk berkembang. Kesenian-kesenian tradisi yang awalnya berbasis ritus sosial itu ketika bersentuhan dengan entitas lainnya seperti modal dan negara justru menunjukkan vitalitasnya sebagai seni komunal yang sangat dekat dengan masyarakat. Sekarang ini di bedak-bedak penjual CD di sepanjang jalan di Banyuwangi, sangat didominasi produk lokal utamanya lagu-lagu Banyuwangi dengan berbagai aransmen dan jenis musik. Puluhan album keluar dalam setiap bulan dan selalu diburu pembeli. Lagu-lagu Banyuwangi menjadi menu utama hiburan dalam berbagai kesempatan. Semua radio di Banyuwangi bahkan juga di seluruh Jawa Timur dan sebagian Bali memiliki mata acara lagu–lagu Banyuwangi. Pengamen di bis dan lampu merah tak ketinggalan juga menyanyikan lagu lokal. Kasus Banyuwangi ini menepis kehawatiran dan anggapan banyak pihak bahwa biasanya kesenian lokal ketika berhadapan dengan modernitas akan mengalami marginalitas, dan ditinggalkan pendukungnya.

Politik Identitas dan Peranan Pemerintah
Industri rekaman di Banyuwangi berawal dari upaya pemerintah daerah menemukan kembali kekhasan daerah sebagai identitas. Adalah Hasan Ali pegawai kesra Pemda Banyuwangi kala itu dengan didukung oleh bupati Joko Supaat Slamet berinisiatif merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam rangka menggairahkan kesenian dan budaya lokal. Lagu-lagu Using sendiri sebelumnya telah tertempa dan mengalami kegairahannya sendiri seiring dengan digunakannya lagu Using dalam ranah politik, terutama oleh Lekra (PKI) dan LKN (PNI).
Dengan peralatan yang sederhana bertempat di belakang pendopo kabupaten, rekaman dilaksanakan pada malam hari untuk menghindari suara bising di bawah rindang pohon mangga. Tidak jarang rekaman harus dilakukan berulang-ulang dalam beberapa malam karena belum ada teknik dubbing. Bahkan rekaman harus dilakukan ulang, karena salah satu alat musik kejatuhan buah mangga dan mengganggu konsep bunyi yang diharapkan.
Pilihan jenis musiknya pada waktu itu adalah gabungan angklung dan gandrung. Dipilihnya jenis musik ini menurut Hasan Ali untuk mengeliminir protes masyarakat yang masih pobia terhadap musik-musik Lekra. Karena angklung sangat identik dengan Lekra, maka angklung dicampur dengan warna musik gandrung yang lebih diterima umum. Sedangkan lagu dan syairnya kebanyakan karya Andang CY, Basir Nurdian, Mahfud, Indro Wilis dan lain-lain yang kesemuanya adalah seniman kiri. Pilihan ini wajar karena pencipta dan pengarang pada waktu itu umumnya adalah para seniman kiri.
Ketika produk kaset beredar di masyarakat, harapan pemerintah akan gairahnya kebudayaan lokal sangat menggembirakan. Lagu-lagu angklung populer dan nyanyikan masyarakat di mana-mana. “Cilik gedhe, tuwek enom kabeh dhemen,” kata Hasan Ali. Maka target pembentukan identitas daerah telah menunjukkan wujudnya. Saat itulah kemudian terjadi benturan ketika ada keinginan perekam lain yang ingin mengusung jenis musik lain, yang bukan angklung dan gandrung. Fatrah Abal, seorang pengusaha sekaligus seniman pada waktu itu, mendirikan studio rekaman Lokanada dan mengusung jenis musik melayu dengan syair lagu berbahasa Using. Melihat genre musik lain yang tidak dianggap identitas daerah ini pemda langsung mengambil tindakan dan menganjurkan agar membatalkan konsep tersebut. Fatrah Abal sebenarnya mempunyai target lain dengan dipilihnya musik melayu, yaitu agar persebaran lagu Banyuwangi itu lebih luas ke kantung-kantung kampung santri. Karena selama ini kampung-kampung tersebut tidak menerima jenis musik dan kesenian yang berbau lokal seperti gandrung. Maka ketika lagu melayu berbahasa Using beredar di masyarakat ternyata juga diterima. Bukan itu saja kemudian dampaknya, lagu madura lagu jawa juga di rekam di Banyuwangi. Dan nyata diakui oleh produsernya wilayah pasarnya lebih luas.
Perkembangan jenis musik melayu pada akhirnya memunculkan genre musik kendang kempul di Genteng Banyuwangi selatan yang lebih bersentuhan dengan jenis alat musik elektrik. Sedangkan di Banyuwangi utara berkutat pada musik tradisi. Dua poros utara selatan ini samapi sekarang masih menunjukkan warnanya. Daerah Banyuwangi selatan yang merupakan basis masyarakat jawa mataraman pengembangan musiknya pada dekade tertentu lebih memiliki ruang bebas. Sedang poros Banyuwangi utara, berteguh menggali ruh warna musik tradisi dan berbangga pada keluhuran nilai sastra Using.
Tapi nampaknya sekarang perkembangan yang hanya mempertimbangkan pasar, dua poros tadi sudah terjadi konvergensi. Dan disatukan oleh satu media bahasa yaitu bahasa Using. Walaupun apresiasinya berbeda-beda.
Ketika awal perkembangan, lagu-lagu seniman lekra yang hadir, muncullah upaya penyaringan oleh pemda. Penyaringan itu terutama pada syair-syair yang berbau kiri. Syair-syair lagu yang akan direkam harus masuk ke pemda selain untuk skcreening politik juga sebagai pendataan lagu dan pengarangnya. Semacam perlindungan hak cipta.
Soal syair ini tak jarang seniman harus berurusan dengan kodim. Karena soal interpretasi, maka sering muncul interpretasi yang berbeda atas satu syair yang sama. Kasus lagu Pethetan diaatas misalnya. Andang CY pengarang lagu tersebut terpaksa berurusan dengan kodim karena soal interpretasi syair. Lagu tersebut telah lolos penyaringan pemda – dalam hal ini Hasan Ali. Namun kodim mempunyai penafsiran berbeda. Syair: sun tandur ring bucu petaman (saya tanam di pojok taman), diartikan politis oleh kodim, yaitu gambar bendera Rusia dimana pojoknya adalah gambar palu arit. Padahal lagu tersebut murni soal asmara. Kata bucu dalam bahasa Using juga bermakna tempat yang paling indah. Setelah melalui negosiasi dan peranan Hasan Ali menjamin lagu pethetan steril politik, Andang CY tidak jadi masuk bui.
Tidak bisa dipungkiri lagu Using telah menjadi identitas daerah. maka pemdapun merasa bertanggung jawab melindungi senimannya. Dan ketika rekaman sudah masuk kapitalisasi, dimana stidio rekaman Surabaya invansi ke Banyuwangi, pemda mengambil peran penting untuk tetap menyaring syair lagu berbau politis, dengan ancaman pemda akan menolak peredaran kaset tersebut di Banyuwangi.

Kapitalisasi Lagu Banyuwangi dan Posisi Seniman
Lagu Banyuwangi awalnya untuk identitas daerah. sesuatu yang dianggap ideal. Namun sejak awal perkembangannya sudah dikuasai kapital. Rekaman pertama di belakang pendopo itu sudah melibatkan studio Sarinande dan Ria. Dua studio rekaman di Banyuwangi waktu itu yang digandeng pemda sebagai rekanan. Rekanan menyediakan alat rekam dan penggandaan serta pemasaran. Pengarang lagu bahkan awalnya tidak dibayar. Kondisi waktu itu memungkinkan hal tersebut. “pokoke lagu direkam, girang wis,” kata Andang CY. Namun ketiak persebaran kaset telah mencapai ribuan dan sampai di daerah luar Banyuwangi, pengarang memperoleh kepopuleran, produser memperoleh keuntungan, maka hukum pasar yang berlaku.
Relasi antar seniman dan produser serta pemda di lain pihak, berpusar antara logika pasar dan idialisme. Produser sudah merasa membutuhkan pengarang, pengarang lagu juga merasakan hal yang sama. Maka sedikit demi sedikit persaingan antar pengarang muncul, demikian juga persaingan antar produser, walaupun diakui oleh mereka persaingan waktu itu tidak sengit. Yang jelas bagi para pengarang semacam Andang CY, Basir dan Mahfud idialisme awal yang penting syairnya dikenal masyarakat dan pesannya moral sosialnya sampai, telah luntur. “Serta ana dolare, ana picise, bida pena. Mulai napsi-napsi. Dhewek-dhewekan.” Kata Andang CY. Pada waktu itu Andang CY sampai menciptakan syair sebagai self critic (betulkan istilahnya, mas) sessama pengarang yang telah memburu uang. Syairnya berjudul picis (uang): picis rasane keliwat manis, tapi picis iku angkuh, iman kukuh ditendhang rubuh, wong kang mata picisen tega nyawang kanca lempiriten.
Karena itu posisi seniman menjadi lemah di hadapan produser. Untuk mengikat pengarang lagu, produser tidak segan memberi barang berharga, dengan akibat lagu tidak memiliki harga tawar. Lemahnya posisi seniman itu bisa dilihat dari kondisi ekonomi beberapa seniman. Basir Nurdian, pencipta lagu Umbul-umbul Blambangan yang terkenal dan lebih dari 200 lagu lainnya, hidup dalam kesederhanaan. Bahkan ia sering menerima uang setelah lagu-lagunya direkam ulang tanpa ijinnya. Tapi ia tidak mampu memasang harga. Karena biasanya lagunya tiba-tiba direkam begitu saja. Dan ia tidak bisa mengontrol dan mengetahui berapa keping CD atau kaset telah direkam lagunya. Oleh karena itu ketika ditanya bagaimana siasatnya untuk menghadapi produser, ia hanya pasrah dan menerima saja. “Rumangsaa baen munggone. Kadhung nyang umah wong-wong iku sun kongkon nggawa sabun lan anduk, makene weruh kadhung umahisun bocor kabeh,” kata Basir di rumahnya yang sederhana.
Dengan semakin mudahnya proses rekaman dan pembuatan master album, puluhan studio rekaman muncul di Banyuwangi. Istilahnya ada studio yang punya bendera semacam Sandi Record, Safari Record, Indra Record, Scorpio Record, Fista Jaya record, Gemini Record dan puluhan studio home industri atau studio rumahan. Kalau dekade sebelumnya seniman Banyuwangi merekam lagu di Surabaya semacam Golden Hand, sekarang sudah bisa secara mandiri di Banyuwangi. Dengan sekian banyak studio rekaman, rata-rata dalam satu bulan bisa lima sampai tujuh album dilemparkan ke pasar. Penyanyi dan pencipta lagu juga tumbuh bagai jamur. Seakan-akan semua orang bisa menjadi pecipta lagu. Memang tidak semuanya berhasil. Penyanyi dan pencipta lagu Adistya Mayasari misalnya, albumnya yang bertajuk “Kangen” hasil kolaborasi dengan grup Rolas (Rogojampi Orkestra Lare Asli) yang berisi 10 tembang menurut pengakuan Mas Sandi (produser Sandi Record) telah terjual 100 ribu keping lebih. Ketika masuk dunia kapital yang sangat menguntungkan inilah konflik-konflik muncul baik anatara pencipta dengan musisi, pencipta dengan produser dan seterusnya. Konflik itu muncul karena kurang kuatnya perjanjian awalnya. Perjanjian pembagian hasil yang kurang tegas, dan keinginan yang bersifat pribadi dan lain-lain. Karena sebelumnya mereka tidak menduga album akan laku demikian keras. Pada saat beginilah rentannya posisi seniman. Maka kapital yang mengendalikan. Kasus Rolas, misalnya. Saat albumnya laku diatas angka 65 ribu, maka ada konflik di dalam. Penyelesaiannya akhirnya master album tersebut di jual ke produser. Dan senimannya pasti kemudian tidak akan mendapatkan hasil dari sekian puluh ribu keping yang terjual kemudian.
Bagaimana posisi seniman? Pasar yang menentukan. Ketika penyanyi banyak bermunculan, maka daya tawarnyapun murah. Bahkan bagi penyanyi yang baru muncul tak dibayarpun tak mengapa. Atau dibayar ketika albumnya sudah laku. Ketika banyak pencipta lagu bermunculan, pasarpun menghargainya dengan murah. Untuk mengurangi daya tawar penyanyi produser bersiasat dengan sebanyak mungkin memunculkan penyanyi baru yang potensial. Biasanya diikutkan pada album artis yang sudah punya nama. Dengan semakin banyaknya penyanyi yang berkualitas, dan pilihan yang beragam artis papan atas akan pikir dua kali pasang tarip mahal.
Hasil dari pergumulan pasar itulah kemudian melahirkan dan menyaring mana pengarang lagu yang berkualitas, mana penyanyi yang disukai masyarakat. Pada deretas atas pencipta lagu bisa disebut misalnya Catur Arum, Yon DD, Adistya, Miswan dan beberapa nama yang lain satu lagunya bisa berharga di atas dua juta. Demikian pengakuan Mas Sandi. Satu juta apabila reliase. Di deretan penyanyi bisa disebut yaitu, Catur Arum, Dian Ratih, Lisa, Adistya dan nama-nama yang lain, rekaman satu lagu sudah berharga di atas 2 juta. Para artis papan atas Banyuwangi ini sudah merasakan berkah marakanya industri rekaman dengan peningkatan kesejahteraan meraka.
Namun tidak semua pencipta dan penyanyi merasakan hal yang sama. Kadang-kadang pembagian itu, karena tidak adanya saling kontrol, sangat tidak imbang. Pernah penyanyinya, karena dia penyanyi yang sedang top, memperoleh imbalan dalam satu album sejumlah 25 juta, tapi pengarang lagunya hanya memperoleh 2 jutaan. Barangkali dalam hal seperti inilah perlu dibangun kesepakatan dan regulasi untuk adilnya pembagian rizki.
Sistem royalti di Banyuwangi belum ada. Yang berkembang adalah sistem beli lepas. Maksudnya produser membeli hak cipta pertama, membayar penyanyinya, musisinya, penari latarnya, dan lain-lain selesai. Kemudian dibikin master, digandakan dan dipasarkan. Kalau album itu laku keras, baru produser memberikan bonus kepada senimannya, itupun tidak mengikat. Ketika ditanya apakah produser tidak menerapkan sistem royalti, Mas Sandi mepertanyakan komitmen produser yang lain. Apakah produser lain juga mau menerapkan sistem royalti. Selama ini produser ngikuti saja hukum pasar. Honor artis, ngelihat kelasnya. Sistemnya bisa perlagu atau peralbum. Artis ada yang pasang harga ada yang tidak. Bagi yang sudah populer semacam Catur Arum, ia sudah pasang harga. Siapapun yang ngajak, tarifnya sekian. Sedangkan yang lain punya kiat sendiri-sendiri. Adistya misalnya, ia tidak selalu mau untuk diajak rekaman. Ia akan pilih momen dan kualitas lagu. Ia tidak ingin selalu muncul. Inipun dalam rangka mempertahankan pasar. Agar masyarakat tidak jenuh.
Namun demikian bukan berarti tidak ada resikonya bisnis di bidang rekaman ini. Menurut Mas Sandi, dari sekitar 35 album yang dikeluarkan, 15 album diantaranya gagal. Ketika memproduksi album POB “Janur Melengkung” ia invest lebih dari 100 juta. Karena rekaman harus di Jakarta, biaya audio dan vidio sekitar 80 juta, ditambah akomodasi di Jakarta kemudian penggandaan. Sampai saat ini modal album tersebut belum kembali. Padahal materi lagu bagus, penyanyi bagus. Tapi pasar mengalami kejenuhan lagu baru. Terlalu banyak lagu baru yang keluar. Masyarakat belum menikmati lagu yang baru, sudah muncul lagu baru berikutnya.
Produser harus pandai membaca selera pasar. Harus pandai melakukan terobosan dan butuh keberanian berspekulasi. Yang dikira orang tidak laku, ternyata asalkan menawarkan hal yang baru, maka akanditerima pasar. Misalnya sekarang ia mengeluarkan album host, disco. Sebelumnya banyak yang menyangsikan jenis musik ini. Tapi ternyata dengan keberanian berspekulasi ia produksi dan ternyata diterima. Dan ternyata pasar juga menghendaki keunikan. Ketika vokal disco itu vokal gandrung yatiu Mbok Temu, gandrung senior, justru sangat diterima oleh masyarakat.
Musik disco diterima pasar, karena telah terjadi kejenuhan jenis musik. Tanda-tanda kejenuhan pasar adalah album-album yang dikeluarkan dengan warna musik patrol cenderung stagnan. Padahal materinya bagus, baik penyanyi maupun musiknya. Maka harus ditangkap bahwa pasar menghendaki jenis musik lain.Sekarang hampir semua produser mengeluarkan album disco etnik. Mengeluarkan album host atau disco, kata Mas Sandi lebih cepat produksinya. Pengambilan gambar tidak memerlukan banyak tempat, cukup permainan lampu. Yang penting materi lagu dan penyanyinya serta visualnya. Selain itu kecocogan karakter suara penyanyi dengan materi lagu harus dipertimbangkan secara matang.
Untuk menjajagi pasar, biasanya produser mencetak dalam bentuk kotak dulu (cassete). Kalau dapat respon bagus, maka selanjutnya dicetak dalam bentuk CD. Indikator respon pasar antara lain, volume kemunculan lagu tersebut di radio-radio. Kalau pemirsa banyak meminta lagu tersebut itu sudah indikator yang baik. Maka sebelum dicetak dalam bentuk CD, produser memanfaatkan media radio untuk publikasi dan promosi. Bahkan menjalin keakraban dengan penyiar radio tersebut. Keakraban dengan penyiar akan membatu volume tampilnya lagu di radio. Semakinsering lagu baru tayang di radio, masyarakat mejadi dekat dan akrab. Maka merekapunmencarinya di bedak-bedak penjualan CD.
Jumlah penggandaan album, melihat jenis albumnya. Kalau semacam album disco yang lagi laris, maka bisa langsung digandakan 20 ribu keping. Tapi kalau semacam CD kesenian yang tak populer semacam jaranan, angklung caruk, digandakan tidaklebih dari 5 ribu keping. Lebih dari jumlah tersebut resikonya tinggi.
Pemasaran kaset dan CD Banyuwangi mencapai seluruh Jatimdan sebagian Bali. Secara perorangan ada juga yang menjual di Kalimantan, Sematra dan Silawesi. Sistem dan jaringan pemasaran sudah terbentuk. Dari produser turun ke distributor. Distributor bisa lembaga, perorangan atau toko. Produser juga biasanya sekaligus sebagai distributor. Dari distributor turun ke sales di masing-masing kecamatan atau temapt. Sales biasanya perorangan. Sales inilah yang mengedarkan CD samapi ke bedak-bedak. Dari bedak pembayaran ada yang case ada yang laku bayar. Ngelihat albumnya. Kalau albuk tersebut diminati pasar, bedak berani case. Sales beli ke distributor perkeping Rp 8000. bedak menual Rp 10.000 sampai Rp 12.500.
Antar produser nggak ada persaingan menjatuhkan. Termasuk produser di luar Banyuwangi. Karena sebenarnya rugi kalau saling menjatuhkan. Yang sering muncul problem justru dengan pencipta lagu. Kadang produser telah membeli lagu dan bikin master dan belum diedarkan, tapi lagu tersebut oleh penciptanya sudah dijual ke produser lain dalam versi yang sama. Di sinilah ketergantunagan produser kepada pencipta lagu membuat mereka tidak mampu komplain kepada pengarang lagu. Karena ia butuh lagunya untuk produksi selanjutnya. Apalagi dengan pengarang lagu tersebut telah terjalin pertemanan yang akrab. Dalam kondisi seperti ini kerugian yang pasti. Belum kembali modal sudah keluar lagi pada versi yang hampir sama.
Agar terjalin kerjasama yang saling menguntungkan, semua pihak yang dihubungi belum bisa memberikan solusi yang tepat. Ada yang menawarkan kerjasama antar produser. Misalnya dibangun kesepakan untuk tidak merekam lagu yang masih milik produser lain. Tapi kreteria lagu masih milik orang lain masih belum jelas di Banyuwangi. Berapa la telah beredar di pasar. Atau apakah lagu itu haknya pengarang lagu. Kode etik bagi pengarang lagu untuk tidak menjual lagu yang sama ke beberapa produserpun tidak ada. Sedangkanlagu yang dijual itu sangat marketable. Namun hal ini nampaknya tidak mugkin, karena masing-masning produser punya kepentingan sendiri-sendiri.
Bagaimana dengan regulasi? Apakah perda atau Sk bupati misalnya. Ada yang mengharapkan tapi banyak juga yang skeptis. Sandi misalnya, karena ia merasa tidakmampumemberikan solusi, ia menerima saja ide tentang regulasi itu. Tapi akhirnya ia meragukan pendapatnya itu. Karena pernah DKB dan Disbudpar mengumpulkan para pencipta lagu, aranger, penyanyi se kabupaten Banyuwangi. Pada kesempatan itu terbentuk asosiasi seniman pencipta dan aransmen lagu Banyuwangi. “Tapi nyatanya kosong” kata Sandi. Ia malah gabung dengan APPRI Jawa Timur, dalam setiap label albumnya.
Ada juga yang menginginkan agar produser dan pencipta lgu itu membangun kesepakatan untuk pengaturan pengeluaran album. Agar dalam waktu bersamaan tidfak keluar album yang versinya sama. Ini untuk menhindari kerugian produser. Demikian kata H. Aris, produser sekaligus pemilik bedak di taman Sritanjung Banyuwangi. Tapi nampaknya sangat berat kalu membangun kesepakatan antar produser apalagi dalam hal mengeluarkan album. “itu hak intern produser” kata Sandi yang juga ngeluarkan album lawak Using ini.
Mengapa ia mengeluarkan album lawak Using? Pertimbangannya juga mudah. Yaitu kecenderungan pasar. Ketika pelawak Bodos sering diundang dalam hajatan mengapa tidak direkam di CD? Masyarakat akan lebih mudah mengakses. Tidak perlu datang ke hajatan. Dengan cd bisa diputar sewaktu-waktu.
Jadi kesenian apapun di Banyuwangi ketika bersentuhan dengan pasar dan menjanjikan secara materi maka terjadilah kerja sama antar seniman dengan pemodal. Walaupun kepentingannya sesaat, dan kadang tidak jelas siapa yang diuntungkan dan dirugikan. Para seniman sendiri kebanyakan kurang menyadari posisinya. Antara kepentingan popularitas dan ketakberdayaan modal. Maka di tengah maraknya dunia rekaman di Banyuwangi sampai saat ini pemodal yang berani berspekulasi yang pandai membaca kecenderungan pasar dan teliti mempersiapkan pernik-pernik produksi maka ia yang meraih untung. Tapi memang akhirnya mereka yang punya modal kuatlah yang berani berspekulasi. Dan keuntungan seakan selalu menjadi hak mereka.
Bagaimana mendobrak pasar yang cenderung pragmatis? Bahkan kadang-kadang tak mengindahkan kualitas? Sedang masyarakat juga kurang kritis? Bagaimana agar idialisme juga diperjuangkan? Dan bagaimana memperjuangkan posisi seniman? Bisakah asosiasi mempengaruhi pasar? “Ketika kita campur tangan ke pasar, pasar punya keunikan sendiri”, kata Momo, salah seorang pencipta lagu. “Kecuali kita mengadakan produksi tandingan!” lanjutnya. Dengan syarat, produksi yang ideal, siap bangkrut, hanya materi yang berkualitas yang dimasukkan, baik lagu maupun penyanyi dan lain-lain. Dengan musik dan syair yang bermakna dan berdampak sosial dan visualisasi yang sempurna kemudian kita tawarkan ke pasar. Dan tidak ketinggalan dimulai dan dikenalkan kepada seluruh seniman pencipta lagu dan penyanyi sistem royalti. Akhirnya masyarakat mengetahui dan terajari menemukan dan memilih produk yang berkualitas. Kalau ini pilihannya, sebenarnya ini bukan mimpi tetapi tantangan.
Visualisasi, antara Idealisme dan Pragmatisme
Para budayawan Banyuwangi melalui DKB (Dewan Kesenian Blambangan) pernah mengeluhkan tentang rendahnya kualitas klip musik Banyuwangi. Keluhan dan keberatan ini malah akhirnya berkembang pada kritik-kritik yang lebih detail. Misalnya kritik terhadap pakaian penari latar, gerakan tari yang dianggap tidak senonoh, bahkan sampai kriteria pakaian-pakaian yang dianggap tradisional. Kalau klip lagu Banyuwangi ya pakaian harus pakaian adat Banyuwangi, katanya. Jangan campur baur yang bisa mengaburkan identitas budaya Banyuwangi. Dan berbagai keluahan yang lain soal klip lagu Banyuwangi.
Menindaklanjuti keresahan ini maka dikumpulkanlah para produsen dan pekerja rekaman di pendopo kabupaten dengan mendatangkan para kritikus lokal. Pada kesempatan itu diputar mana klip yang tak baik dan dijelaskan bagaimana sebaiknya. Termasuk juga bagaimana menyusun syair yang bagus dengan kadar sastra Using yang kuat.
Tapi begitulah idealisme kadang berlawanan dengan kecenderungan dan keinginan masyarakat. Masyarakat tetap tak peduli mana yang klip baik mana tidak. Masyarakat punya penilaian sendiri apa yang kan dibeli. Dan nyatanya apapun bentuknya produksi klip, diterima saja oleh masyarakat. Akhirnya pekerja rekaman kembali pada sikap pragmatis. Bikin klip yang sederhana tidak berbiaya tinggi tapi diminati masyarakat. Sekali lagi pasar memang memiliki keunikan tersendiri. Kiranya kita percaya kepada perjalanan waktu. Semakin beragam yang dicerna masyarakat semakin lama juga proses belajarnya masyarakat. Kiranya harapan kita pada idialisme visualisasi, misalnya bagaimana klip lagu itu benar-benar mencerminkan realitas pada masyarakat. Klip yang mempu memberikan penyadaran terhadap masyarakat, dan lain-lain, kita tunggu saja dan pasti sejalan paralel dengan kedewasaan masyarakat.


SEKITAR PEMBUATAN ALBUM LAGU
Produksi lagu di Banyuwangi macam-macam. Live, dangdutan, original, dll.Biayanya berbeda. Proses: beli lagunya, beli penyanyinya,model klip, alat musik, sewa studio rekaman. Kalau sudah selesai audio dan vidio, ada dua pilihan. Dijual master ke produser atau diproduksi sendiri. Kemudian digandakan dan dijual.
Kalau investasi mulai nol, sekarang perlagu 200 ribu sampai 2 juta. Tergantung penciptanya. Aransmen perlagu 750 ribu dengan analognya (manual semacam kendang, suling, gong dll). Kalau aransmen elektone perlagu 200 ribu sampai 400 ribu. Penyanyi tinggal kelasnya penyanyi mulai dari tidak perlu bayar sampai 3 juta perlagu. Kalau ngambil pilihan yang ringan 20 juta sudah jadi master.
Penggandaan minimal Rp 3000x3000 keping. Itu sudah termasuk cover. Kalau tanpa cover, penggandaan perkeping 2200.
Kalau produk dijual master, resiko rendah. Tapi rugi apabila ternyata setelah dibeli produser, laku keras. Produser mau membeli master dengan analisa pribadi produser sendiri. Kalau diprediksi bagus master bisa laku 60 juta. Anda mau investasi (bertaruh) di Banyuwangi?

HASAN BASRI


No comments: