Saturday, August 2, 2008

PURWADI DAN DESA KEMIREN (Catatan Perjalanan 1)

Adi Purwadi, atau akrabnya dipanggil Pur, adalah tokoh muda dan salah satu yang ditokohkan memelihara adat di desa Kemiren. Ia mengetahui banyak adat di desanya dan ia setia terhadap adatnya. Kali ini bukan pertemuan pertama saya dengannya. Saya sudah mengenalnya jauh sekitar 4 tahun yang lalu. Dua tahun ini ia dipercaya menjadi ketua panitia adat Ider Bumi di desa Kemiren. Kemiren, sebuah desa yang sejak tahun 1993 dijadikan desa wisata oleh pemerintah.

Letak desa Kemiren sekitar 3 kilometer ke arah barat kota Banyuwangi. Penduduknya relatif homogen. Tidak ada Cina. Pendatang umumnya para pegawai semacam bidan, guru, tentara. Secara formal administratif, penduduk Kemiren beragama Islam. Masjid dibangun megah hasil swadaya masarakat. Namun kalau diperhatikan ke dalam, kehidupan dan penghayatan keagamaannya plural. Purwadi sendiri ia penganut kepercayaan. Walau tak pernah secara terang ia nyatakan. Ia pernah ngundang saya untuk ikut pada pertemuan penghayat kepercayaan yang dilaksanakan di kecamatan Sempu. Ia sangat tidak respek terhadap formalisasi agama. Baginya agama untuk dirasakan, bukan untuk dinampak-nampakkan. Ia misalnya dalam perbincangan tak sengaja menceritakan ihwal orang yang memaksakan diri naik haji dengan menjual hartanya. Sepulang haji ia kerja sebagai tukang gergaji. Ia bercerita, orang tersebut serba salah menghadapi hidupmnya. Satu sisi ia kurang secara ekonomi, namun ia diberati oleh status haji yang rasa dan ia usahakan dulu. Ahirnya, sekali lagi nurut ceritanya Pur, saat sedang kerja nggergaji tersebut, songkok putihnya ia banting, dan mencaci songkoknya itu sebagai biang keladi terpenjaranya gerak sosial ekonominya. Purwadi menceritakan hal tersebut, menurut saya adalah wujud dari penolakannya terhadap formalisasi agama.

Kembali pada Purwadi. Ia suami berusia 47 tahun, beranak laki-laki satu, isterinya masih tetangga sendiri. Anaknya, Awang namanya, ia ngajikan setiap sore. Ada dua hal mengapa anaknya dingajikan. Pertama, Purwadi yang menjadi ketua Paguyuban Baca Lontar yang dilaksanakan rutin dengan cara berkeliling dari satu rumah ke rumah anggota lainnya yang dilaksanakan setiap malam Rabu (layaknya tradisi tahlilan), merasa perlu anaknya mampu membaca aksara Arab. Karena adat membaca lontar yang ia pelihara itu yang dibaca sebuah buku dengan huruf Arab pegon. Yang kedua, ia tak hirau sama sekali pada hal-hal yang menurut orang Islam formal sebagai simbol agama. Bagi Purwadi, mengaji yang sebagai laku sehari-hari tak ada kaitannya dengan perintah agama tertentu. Iapun bisa ngaji. Tapi ngaji bukan sebagai simbul kesalehan Islam, tapi ngaji sebagai laku hidup yang ia jalani, mengalir mengikuti kehidupan di depannya.

Nah, hal-hal demikian tidak hanya kita jumpai pada diri Purwadi tapi juga banyak penduduk Kemiren lainnya. Pak Serad misalnya, dalam proses pembangunan masjid, ia berperan penting, karena ia seorang tukang kayu yang baik. Namun aktifnya ia dalam pembangunan masjid, tidak mengharuskannya untuk melaksanakan shalat lima waktu. Purwadi misalnya, ia saat memperbincangkan pembangunan masjid, ia banyak mempunyai gagasan yang menurut ia bagus. Yang penting di sisni, ia mempunyai kepedulian dalam proses pembangunan masjid tersebut. Tapi itupun tidak mengharuskannya untuk rutin ke masjid menjalankan sembahyang. Membangun masjid adalah kerja sosial, wujud kerukunan yang lumrah dilakukan sebagai warga desa.

Dalam perbincangan siang itu, dirumahnya, Purwadi menunjukkan tempat-tempat kesenian barong berada. Yaitu di desa Kemiren sendiri, ada satu grup senior, satu grup remaja dan satu grup anak-anak. Selain di Kemiren, kesenian barong ada di dusun Kopen Cungking Kampunganyar, dusun Mangli Jambesari, dusun Dukuh Glagah, dusun Gumukbatur Licin. Itu kesenian barong bengi. Kalau kesenian barong ngeraina, selain yang disebutkan tadi, juga ada di kalipuro, Porong Boyolangu, Giri, Delik, Jambesari, Kenjo, Tamansuruh.

21 Juni 2007