KESENIAN JANGER
Kesenian janger termasuk dalam seni dramatari tradisional. Selain disebut janger, kesenian ini juga biasa dinamakan kesenian Damarulan atau Jinggoan. Belum diketahuk asal-usul mengapa kesenian ini sering disebut Janger, sedangkan sebutan Damarulan dan Jinggoan diperkirakan karena pada mulanya selalu menyajikan cerita Damarulan Minakjinggo; walaupun kisah tersebut sekarang sudah jarang ditampilkan. Ada yang mengatakan disebut dengan kesenian Janger karena dahulu dalam pertunjukannya diselingi dengan tari janger dari Bali.
Ada tulisan yang mengatakan kesenian ini sudah ada sejak tahun 1918 yaitu diprakarsai oleh seseorang yang bernama Mbah Darji dari desa Singonegaran Banyuwangi. Mbah Darji yang seorang pedagang sapi yang sering pulang pergi Banyuwangi-Bali sangat tertarik dengan kesenian di Bali. Di Banyuwangi ia sudah memiliki grup kesenian yang bernama Ane-ande Lumut. Ketertarikannya dengan kesenian Bali kemudian mendorongnya untuk belajar tari Bali kepada Pak Singo di kampung Bali Banyuwangi dan mendirikan kesenian baru yang bentuknya seperti kita kenal dengan kesenian janger sekarang ini.
Pertunjukan kesenian janger dilaksanakan pada malam hari dimulai pada pukul 21.30 sampai pagi. Kesenian janger mununjukkan perpaduan antara bentuk dan gaya Bali, Jawa dan Banyuwangi. Warna Bali nampak pada musik dan kostumnya, warna Jawa nampak pada dialognya (antawacana) sedangkan warna Banyuwangi nampak pada dialog pada dagelan dan pelakunya. Bentuk panggung seperti pada kesenian ludrug, ketoprak dengan dekor bergambar.
Pada tahun 1970-1980 kesenian janger mengalami pertumbuhan pesat terutama dari segi kuantitas. Tumbuh grup dimana-mana dan masyarakat mengapresiasi dengan baik. Kemudian memasuki awal-awal tahun 1980-an lahir kesenian kuntulan/kundaran yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Kepopuleran dan kelarisan kesenian kuntulan sampai-sampai mematikan kesenian lainnya termasuk janger juga kesenian gandrung. Nampaknya pilihan masyarakat tidak selalu tetap. Pertengahan tahun 1990 karena berbagai sebab kesenian kuntulan perlahan ditinggalkan masyarakat. Kalau sebelumnya hampir tiap desa ada grup kuntulan maka sekarang tak satupun masih berahan grup profesional kuntulan. Setelah kuntulan menurun, kesenian janger muncul lagi sampai sekarang. Walaupun tanggapan kesenian janger relatif mahal yaitu sekitar 3 juta-an namun hampir setiap kali orang punya hajatan selalu yang dipilih masyarakat adalah kesenian janger. Sekarang di Banyuwangi terdapat sekitar 50-an lebih grup yang aktif.
Persebaran kesenian ini hampir merata di seluruh wilayah kabupaten Banyuwangi. Mulai dari Kalibaru ujung selatan barat sampai Ketapang Banyuwangi ujung utara. Baik di masyarakat Madura, Jawa Bali maupun Using. Walaupun jumlah terbanyak di kecamatan Rogojampi yang merupakan basis masyarakat Using. Semua grup-grup di atas punya masyarakat pelanggan sendiri-sendiri. Tapi juga tidak bisa dikatakan punya basis pelanggan. Grup Madyo Utomo Banje misalnya, tidak selalu diundang oleh masyarakat Rogojampi saja. Ia juga bisa diundang oleh masyarakat Tegaldlimo atau Kalibaru. Dimana mereka kundangan biasanya ditentukan oleh relasi dengan grup atau anggota grup, atau bentuk relasi yang lain. Jadi janger tidak di dukung oleh basis berdasarkan etnik, atau wilayah. Semuanya hampir berjalan sesuai dengan hukum relasi saja.
Persaingan antar grup terjadi secara diam-diam, tidak terbuka. Biasanya dalam bentuk persaingan harga dan perebutan pemain perempuan. Walaupun secara umum HR pemain perempuan biasanya Rp 50.000, tapi grup tertentu berani membayar di atasnya karena mendesak tidak menemukan pemain atau karena pemain wanita tersebut diminta oleh penanggap atau pemain wanita tersebut kualitasnya bagus. Kebanyakan pemain perempuan sifatnya lebonan. Artinya ia bisa main di mana saja dan digrup mana saja, utamanya pemain yang kualitasnya bagus. Dalam jumlah yang sedikit hal demikian juga terjadi pada pemian (wayang) laki-laki. Ia walaupun anggota grup tertentu tapi juga tidak menutup kemungkinan untuk main di grup lain sesuai dengan kesepakatan. Baik kesepakatan dengan dirinya maupun dengan grup. Dengan grup misalnya kesepakatannya, ia boleh main di grup lain asal grupnya sendiri kosong job. Menjadi masalah bagi kekompakan grup apabila salah satu anggota ketika grupnya sendiri dapat job justru pemainnya ikut grup lain. Biasanya hal demikian bikin kisruh. Seorang pemain bisa ikut kundangan ke grup lain apabila ia mendapatkan honor yang lebih tinggi, atau ada persoalan di intern grupnya sendiri. Problem-problem sepele seperti ini sering mengganggu hubungan antar grup janger.
Problem-problem seperti di ataslah yang dicoba dicari solusinya oleh DKB dengan mengadakan pelatihan penyutradaraan. Dengan forum pelatihan itu ditargetkan terbentuknya Paguyuban Teataer Tradisi Banyuwangi dengan tujuan sebagai forum komunikasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan untuk mengatasi problem tentang pemain lebonan, harga tanggapan dan lain-lain. Problem pemain lebonan seperti diterangkan dimuka, sedangkan problem harga tanggapan adalah: dengan banyaknya grup Janger di Banyuwangi maka persaingan kundangan antar grup sangat ketat. Maka terjadilah fenomena memasang tarif kundangan yang tidak rasional, artinya tarif kundangan tersebut sebenarnya tidak mencukupi untuk membayar pemain dan yogo. Hal demikian biasanya dilakukan grup yang memiliki juragan yang kuat dananya. Tujuannya macam-macan; untuk menjaga eksistensi grup, untuk prestise pimpinan grup, untuk mematikan (secara tidak sengaja) grup lain. Biasanya seorang penanggap ketika menghubungi suatu grup kemudian tidak ada kesepakatan harga, pindah nego dengan grup lain dengan menginformasikan nego yang telah dilakukan dengan grup sebelumnya. Apabila dua grup yang dihubungi penanggap ini terlibat persaingan, tidak menutup kemungkinan akan terjadi tindakan banting tarif. Inilah yang dikeluhkan oleh peserta pelatihan pada waktu itu. Akibatnya grup yang lemah dananya biasanya menjadi pihak yang kalah. Grup-grup di wilayah kecamatan Rogojampi misalnya dari 9 grup yang ada 2 grup yang kuat yaitu Janger Gelondong dan Janger Banje. Dua grup ini kuat karena banyak faktor. Pertama usia grup sudah tua, sudah lama berdiri, dan kedua; pimpinan grup yang kuat, terutama Janger Gelondong. Janger Banje, karena populer, dan frekuensi kundangan sangat tinggi kekompakan grup sangat tinggi, maka sistem menejemen grup berjalan lancar dengan sendirinya, tidak ada problem pendanaan. Kelebihan Janger Banje kata penggemar Janger terletak pada antawacananya, sedangkan Janger Gelondong pada tata musiknya. Dua grup ini telah melahirkan CD pertunjukannya yang dijual di bedak-bedak pasar.
Sedangkan dari sudut pandang luar (budayawan/DKB) problem yang menjadi fokus adalah rendahnya sisi penampilan. Misalnya ada keluhan jeleknya tata musik, tata lampu, kostum, dan menejemen grup. Kelemahan pada tata musik misalnya tidak sesuainya gending dengan suasana di panggung, miskinnya koleksi gending, kualitas tabuh dan lain-lain. Sedangkan kelemahan dibidang tata lampu yaitu tidak fahamnya sipenata lampu terhadap peranan lampu/pencahayaan yang berfungsi memperkuat suasana; rata-rata pemahaman penata lampu, lampu berfungsi meramaikan suasana. Maka sering dimainkanlah permainan warna lampu yang ramai walaupun di panggung sedang ada dialog raja dengan punggawa keraton. Kelemahan di bidang kostum adalah tidak adanya fokus warna yang menonjol atau warna kostum kadang tidak mencerminkan perannya. Misalkan kostum patih lebih bagus dari pada kostum raja. Demikian juga kostum emban kadang lebih baik dari kostumnya putri. Hal ini terjadi karena kadang-kadang pemain (wayang) memiliki kostum sendiri yang dibawa dari rumah yang dirawat dan terus diperbaiki. Kadang seorang pemain walau perannya sebagai emban, tapi ia tidak ingin tampil jelek (kurang cantik) ketika di pentas. Maka dibawa pulanglah kostumnya untuk diperbaiki sana-sini. Sedangkan problem menejemen grup dikeluhkan jarangnya grup yang mau dan dapat mengelola secara profesional.
Menejemen grup secara umum ada tiga macam; sistem juragan murni, sistem setengah juragan, dan milik bersama. Sistem juragan murni maksudnya grup 100 % milik juragan. Grup tidak memiliki anggota tetap. Pemain dan yogo seluruhnya lebon/ngebon. Sang juragan bisa-bisa hanya memiliki keber saja. Gamelan, pemain, yogo, lampu, kostum semuanya menyewa. Sat memperoleh job, maka juragan kemudian mencari pemain dan yogo. Kelebihan sistem ini penanggap bisa memilih pemain yang disenangi, lawak yang populer. Sedangkan setengah juragan, grup dimiliki oleh seorang juragan yang memiliki pemain dan yogo. Tapi sistem pembagian honor dan pengurusan grup sepenuhnya berada pada seorang juragan. Anggota grup tidak tahu menahu dan tidak perduli terhadap keuangan grup. Pemain dan yogo tahunya hanya main dan tampil. Sistem ini mati hidupnya grup bergantung pada seorang juragan. Seumpama sang juragan menjual infentaris grup juga tidak persoalan. Sedangkan milik bersama, awal mula grup didirikan oleh banyak orang. Mereka berkumpul dan sepakat mendirikan grup janger. Maka semuanya infentaris grup digotong bersama oleh semua anggota dan simpatisan grup. Mereka kemudian menunjukkan seseorang untuk menjadi ketua grup. Tapi pembagian honor dan lain-lain dibicarakan dan disepakati bersama-sama.
Di tengah maraknya produksi CD di Banyuwangi, kesenian janger juga masuk dalam pusaran itu, walau tingkat intensitasnya sedikit. Selain yang telah disebutkan di atas yaitu Janger gelondong dan Banje yang telah memproduksi CD, janger Mangir yaitu grup Jingga Wangi juga mengeluarkan produk yaitu “Janger Berdendang”. Dalam CD ini tidak menampilkan sebuah lakon seperti dua produk sebelumnya tapi menampilkan tetembangan dengan musik janger dan menggunakan vokalis yang lagi populer di Banyuwangi, semacam Dian Ratih, Virgia dan lain-lain. Mereka seniman janger sebenarnya bukan memproduksi, tapi diajak kerjasama oleh produser untuk memproduksi CD dengan konsep dari produser. Saya menyaksikan sendiri setiap kali mereka latihan. Mulai latihan komposisi musik pada malam-malam tertentu bertempat di Balai Desa Mangir dan di rumah Pak Sayun. Latihan dilakukan berpuluh kali. Karena mereka bermusik mengandalkan insting dan hafalan. Tidak menggunakan notasi. Maka prosesnya lama dan rumit. Karena setiap lagu menggunakan aransmen yang berbeda. Pengambilan gambar dan perekaman suara dilakukan sekaligus bertempat di Gedung Wanita Banyuwangi, seharian penuh. Setelah rekaman selesai, saya tanyakan kepada salah satu pemusik berapa dia dapat honor, ternyata hanya memperoleh Rp 200.000. Kalau kita sudah membicarakan soal honor seniman dalam industri rekaman CD di Banyuwangi maka kita masuk dalam lingkar problem produksi CD yang dikuasai oleh produser. Malah pernah ada komplain dari salah satu grup, penampilannya saat kundangan di salah satu desa, ternyata dalam kurun waktu yang tidak lama tiba-tiba keluar Cdnya dan di jual bebas. Menurut pengakuan Sandi Record, produksi CD jenis kesenian tradisional paling banter terjual 4000 keping. Jumlah itu kalau dikalikan harga penjualan dari produser misalnya minimal Rp 4000 maka akan diperoleh angka 16 juta. Maka bagaimanapun bagian yang diterima seniman di atas masih sangat rendah.
Basis pendukung kesenian janger bisa dipastikan adalah masyarakat abangan. Kalaulah Janger ada di desa Parijatahwetan yang santri, tapi pasti pendukungnya adalah komunitas abangan di Parijatahwetan. Ada kasus misalnya di Janger Mangir pemain yang berlatar bekalang santri namanya Nuradi. Ia biasa memerankan tokoh kasaran (raksasa). Tapi ia aktif di kelompok tahlilan dan anggota Banser. Di kelompok tahlilan ia bertugas bagian speker/sound system. Ia memposisikan dirinya di dua tempat sekaligus. Santri sekaligus abangan. Tidak ada masalah. Karena dikelompok tahlilanpun tidak semuanya santri. Tapi dalam pembicaraan-pembicaraan informal di kalangan tokoh santri, sebagai anggota Banser dan orang NU, keterlibatan Nuradi di kesenian Janger disayangkan.
KESENIAN RENGGANIS
Kesenian Rengganis juga tergolong seni dramatari. Nama lainnya adalah kesenian Umarmoyo dan kesenian Praburoro. Semua nama tersebut mengacu pada tokoh-tokoh cerita yang dimainkan. Penampilannya mirip wayang orang. Gamelan Jawa, tata kostum mirip wayang orang. Cerita yang dilakonkan kisah-kisah layang menak, konon gubahan pujangga Demak. Maka ceritanyapun berbau-bau Arab; ada kerajaan Puserbumi (Makkah), Guparman, tokoh Umar Amir, atau Hasan Husen, Abdul Habi, pusaka kasang kertonadi, cemethi jabardas dimana sebelum menggunakan pusaka tersebut harus membaca kalimah sahadat dulu dan lain-lain. Tokoh yang disukai dalam kesenian Rengganis yaitu tokoh Umarmoyo. Pemainnya idealnya harus kecil tapi lincah. Menggunakan penutup dada layaknya Gatutkaca, berkacamata hitam pakai kerincing di kaki seperti tari remo serta nggembol pusaka kasang kertonadi.
Karena tumbuh di Banyuwangi, maka tata musiknya juga dipengaruhi warna Banyuwangi, terutama pada kendang. Pengaruh Banyuwangi lainnya adalah pada gerakan tariannya, serta tampilan tarian pembuka berupa tari-tarian pitik-pitikan atau ada yang menamai burung garuda. Konon tari ini dilatarbelakangi oleh legenda Panji Ulur dari kerajaan Asta Giri yang hidup di kalangan masyarakat Using Banyuwangi utara.
Pada tahun 70-an kesenian rengganis sangat digemari. Sakarang ini grup kesenian Rengganis tinggal 3 grup. Grup Rengganis Cluring, Sumbersewu dan Tegaldlimo. Ketiganya sudah jarang tanggapan sejak tahun 80-an. Grup Rengganis Cluring yang paling populer, dua tahun ini hanya tampil dua kali. Itupun bukan tanggapan di orang hajatan, tapi ditanggap oleh pariwisata di Gesibu Banyuwangi dan ditanggap oleh rombongan ISI (?) Solo untuk diambil gambarnya. Pak Marwito, pimpinan Rengganis Cluring menuturkan sepinya tanggapan kesenian Rengganis karena masyarakat banyak memiliki pilihan jenis kesenian. Masyarakat sekarang masih menyukai Janger. Tapi pada saatnya Janger juga akan sepi dan diganti oleh kesenian lain. Karena Rengganis sedang sepi Pak Marwito (almarhum) ikut mengurus kesenian Jaranan Buto. Tapi kesenian Rengganis terus ia pelihara. Dan kapanpun ada orang tanggapan, grupnya siap. Karena pemainnya hampir semuanya orang Cluring. Hanya beberapa yang ngebon. Masyarakat Cluring masih menyukai kesenian Rengganis. Buktinya kalau ada latihan di depan rumahnya masyarakat masih senang menyaksikan. Sebenarnya setiap kali tujuhbelasan, inginnya panitia desa mau menampilkan kesenian Rengganis, tapi karena dananya kurang rencana itu tidak terwujud. Pak Marwito yang seorang penjaga SD tidak mungkin nemblongi mbayar anggotanya. Pada bulan suro yang akan datang ini maunya akan ditampilkan untuk selamatan tahunan. Tapi kalau tidak ada dananya cukup selametan saja dengan anggota grupnya. Dulu, setiap bulan Suro selalu ditampilkan di depan rumahnya, sekaligus untuk selametan grup. Sekarang ini ia sedang diajak kerjasama oleh Dinas Pariwisata yang dijanjikan akan ditampilkan secara teratur karena akan dimasukkan ke dalam kalender event pariwisata Banyuwangi.
Di Desa Mangir kecamatan Rogojampi pada tahun 80-an pernah berdiri kesenian Rengganis. Hanya berumur beberapa tahun. Kemudian 2003 berdiri lagi, namun umurnya tidak sampai 2 tahun dan baru kundangan 2 kali sudah bubar lagi. Dalam perbincangan dan guyonan diantara pemain kuntulan di depan rumah saya, kesenian Rengganis diperbincangkan dengan guyonan. Tariannya lucu, tata musiknya tidak dinamis terlalu pelan, katanya. Tokoh Umarmoyo yang berkacamata hitampun menjadi bahan lelucon yang ramai. Pokoknya nampak kesan kesenian Rengganis untuk sekarang ini sudah dianggap ketinggalan jaman. Anak-anak muda sudah tidak ada yang mengenal kesenian ini. Orang-orang tua masih suka mengenang cerita-ceritanya.